Mantan Hakim MK Soroti Pengawasan Yudikatif Pasca Terbitnya Putusan MK 90 dan MA 23
Maruarar Siahaan menyoroti perlunya pengawasan lembaga yudikatif, di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) agar tetap independen
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2006, Maruarar Siahaan menyoroti perlunya pengawasan lembaga yudikatif, di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) agar tetap terjaga independensinya.
Hal ini pasca terbitnya produk hukum yang kontroversial, seperti Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden serta Putusan MA 23 P/HUM/2024 tentang syarat batas usia pencalonan kepala daerah.
Baca juga: MA Ubah Batas Usia Kepala Daerah, Ray Rangkuti Duga jadi Karpet Merah untuk Kaesang Maju Pilkada
Maruarar mengatakan, DPR memiliki kewenangan dalam hal pengawasan. Namun, perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai mekanisme pengawasannya.
"Kalau DPR itu ada evaluasi, unsur evaluasi itu betul. Tetapi evaluasi bukan hanya 5 tahun, tapi setiap hari. Tapi siapa yang mengevaluasi, bagaimana tekniknya, itu yang harus mereka pikirkan," kata Maruarar, saat ditemui Tribunnews.com, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Meski dipandang perlu, Maruarar menekankan, pengawasan oleh legislatif harus dipastikan tetap menjaga independensi peradilan itu sendiri. Terutama, terbebas dari kepentingan-kepentingan politik yang berpotensi muncul.
Baca juga: MA Dinilai Gagal Maknai Persyaratan Usia Calon Kepala Daerah, Substansi Putusan Bermasalah
"Karena itulah pilar peradilan adalah independen. Jika tidak independen, maka tidak bisa memberikan keadilan, karena dia memihak," ucapnya.
Bahkan, kata Maruarar, MK dan MA harus dihindarkan dari lembaga pengusul. Namun demikian, soal mekanisme pengawasannya juga harus dipikirkan kembali secara matang.
"Kalau ada tekanan dari sana, suap dari sini, pasti tidak independen. Oleh karena itu harus dihindarkan dari lembaga pengusul, tapi pengawasan perlu, tapi bagaimana tekniknya, ini harus kita bicarakan lagi," kata Maru.
"Belajar dari negara-negara yang telah lebih dulu maju. Anjuran kita begitu karena yang kita harapkan KY (Komisi Yudisial) beri masukan tapi sampai sekarang masukannya enggak ada. Tidak memberikan komentar tentang itu," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, MA mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.
Hal tersebut ditegaskan MA melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputus pada Rabu (29/5/2024).
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda)," demikian amar putusan tersebut sebagaimana tersedia di laman resmi MA.
Baca juga: MA Ubah Syarat Pencalonan Kepala Daerah, Mahfud MD: Ya Sudahlah, Lakukan Apa Saja yang Kau Mau
MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Melalui putusan tersebut, MA mengamanatkan KPU untuk mengubah Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU, dari yang semula mensyaratkan calon gubernur (cagub) dan wakil cagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon terpilih.
Adapun Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU yang dinyatakan bertentangan tersebut berbunyi:
"berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon",
Sedangkan MA mengubah Pasal a quo menjadi:
"....berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".
Selanjutnya, MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.
Putusan MA ini diduga menjadi karpet merah putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju di pemilihan gubernur (Pilgub) 2024 nanti.
Sebelumnya, MK juga mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru pada 16 Oktober 2023 lalu.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar.
Sebab dalam putusan itu kental akan dugaan konflik kepentingan antara Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.