Qodari Ungkap Dua Opsi Jokowi Setelah Tak Lagi Jadi Presiden: tapi Saya Cenderung yang Pertama
Apa yang akan dilakukan Jokowi setelah tidak menjabat Presiden Indonesia? Apakah perlu memimpin partai politik atau sebaliknya, menikmati masa pensiun
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apa yang akan dilakukan Jokowi setelah tidak menjabat Presiden Indonesia? Apakah perlu memimpin partai politik atau sebaliknya, menikmati masa pensiun secara tenang.
Pertanyaan ini seakan mewakili kebanyakan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang selama ini mendukung mantan Wali Kota Solo itu di dua kali pilpres.
Direktur Eksekutif Indo Barometer memberikan ulasannya dalam sesi wawancara khusus di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Selasa 4 Juni 2024.
"Ada dua teori di sini. Pertama yang mengatakan Pak Jokowi, tidak usah di partai politik. Tetap di kemasyarakatan saja. Pendapat kedua, sebaliknya. Tapi kalau saya pribadi menilai, bahwa untuk mengawal Agenda Indonesia Maju, mengawal pesawat, pesawat Boeing, pesawat besar yang namanya Indonesia Incorporated ini, diperlukan stabilitas," katanya.
Qodari juga sempat ditanyakan, apakah nanti hasil dari Pilkada serentak akan mencerminkan konfigurasi politik secara nasional? Berikut jawabannya.
Jadi gini. Pertama, kalau pola yang sudah-sudah itu tidak linear. Secara nasional dengan daerah nggak linear. Tetapi kalau kita bicara 2024, ini kan memang agak lain. Karena ada ada wacana-wacana lorong gelap demokrasi.
Gitu, ada lorong gelap demokrasi. Ada yang mengagak bahwa situasi sekarang ini situasi yang ya lorong gelap demokrasi.
Ini adalah anomali politik. Karena itu kita berjuang dari luar. Nah, hal ini saya belum tahu seberapa jauh akan merembet, menetap tingkat daerah.
Apakah ini hanya menjadi pidato di tingkat nasional? Atau kemudian ini juga menjadi suatu operasionalisasi, suatu realitas politik di daerah? Dugaan saya sementara sih enggak.
Karena di daerah itu ada dinamekannya sendiri. Pertama, komposisi suara dan kursi di pusat tidak identik dengan di daerah. Di nasional PDIP boleh nomor satu.
Tapi kalau di provinsi yang lain, belum tentu. Bisa Golkar, bisa Gerindra, dan seterusnya. Yang kedua, salah satu logika paling mendasar dalam pilkada itu sama dengan pemilu nasional, yaitu elektabilitas.
Partai boleh besar, tetapi kalau dia enggak punya kandidat yang populer, kalau misalnya kandidat yang populer itu dari partai yang lebih kecil, atau kandidat yang populer itu bukan dari partai politik, itu bisa berubah komposisi.
Jadi pada titik itu, untuk sementara saya katakan ada kemungkinan berubah. Walaupun kalau pakai kacamata kegelapan demokrasi, teorinya PDI perjuangan, bisa saja variable kursi partai, variable elektabilitas, itu kemudian dianulir atau dikalahkan oleh ideologis tadi itu.
Kemudian soal pertanyaan, apakah saya nanti mau membantu involving dalam pemerintahan Prabowo-Gibran secara langsung?
Sejauh ini saya membantu tetapi dari luar. Sejauh ini saya membantu. Dengan ilmu pengetahuan saya, dengan pergaulan saya, dengan wawasan saya, saya memberikan saran-saran dan masukan-masukan.
Sejauh ini saya selain peneliti tadi, itu juga adalah aktivis. Jiwa aktivisme saya itu yang membuat saya kemudian memberikan saran dan masukan.
Kalau peneliti, toh, baca, diem. Kalau aktivis itu, baca, jalan. Baca, jalan. Saya nggak berhenti pada ini akan menang sekali putaran. Nggak. Tapi gimana supaya betul-betul terjadi. Nah itulah dimensi dari peneliti.
Tapi saya bilang saya ini bukan siapa-siapa. Dan memang bukan siapa-siapa. Jadi saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang pejabat publik. Karakteristik saya bukan pejabat publik.
Tetapi manusia dalam perjalanan hidupnya, dia akan berhadapan dengan tantangan-tantangan, kesempatan-kesempatan, kemungkinan-kemungkinan. Dan sebagai manusia kita tidak boleh menutup ruang kemungkinan tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.