Perludem: Dinasti Politik Berdampak Kurang Baik terhadap Pembangunan Sejumlah Daerah
Perludem menyoroti adanya dinasti politik di suatu daerah yang memberikan dampak kurang baik terhadap pembangunan daerah itu.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Febri Prasetyo
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti adanya dinasti politik di suatu daerah yang memberikan dampak kurang baik terhadap pembangunan daerah itu.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menyampaikan hal ini dalam diskusi publik bertajuk "Politik Dinasti dan Putusan MA: Apa Respons Publik dan Media?" yang digelar secara virtual pada Jumat (14/6/2024).
Kahfi mulanya mengatakan banyak masyarakat mengeluhkan eksistensi dinasti politik di daerahnya. Sebagai contoh, kata Kahfi, adanya keluhan masyarakat di Banten.
"Contoh di Banten, banyak masyarakat yang mengeluhkan ada dinasti yang sangat besar yang sulit untuk dilawan secara politik, terutama pada pilkada untuk bupati, wali kota, maupun gubenur," ungkap Kahfi, dalam forum diskusi, Jumat.
Bahkan, Kahfi menilai pembangunan beberapa daerah lainnya di Indonesia juga terdampak oleh sebab keberadaan dinasti politik di daerahnya. Ia menyebutkan di antaranya wilayah Sulawesi dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah.
"Kalau kita lihat lebih jauh, ada banyak sekali daerah yang mengalami dinasti politik secara terus-menerus itu menjadi daerah yang mohon maaf tidak terlalu baik pembangunannya, karena korupsinya tinggi, sumber daya alamnya dikuras habis," kata Kahfi.
"Itu bisa dilihat di beberapa tempat di Sulawesi, kemudian kita juga lihat di beberapa kabupaten di Jawa Tengah," tambahnya.
Memang Kahfi mengatakan dinasti politik cukup berbahaya karena akan menempatkan politik hanya pada kekuasaan yang bisa dikuasai, yakni melalui keluarganya.
"Kekuasaan itu hanya berputar di sana (keluarga) kalau ada dinasti politik. Kekuasaan itu hanya didistribusikan untuk kalangan terbatas saja, hanya untuk kelompoknya saja," ucapnya.
Istilah dinasti politik bukan barang baru, tetapi narasi tersebut menyeruak di Indonesia dimulai menjelang pencalonan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dalam kontestasi Pilpres 2024 untuk mendampingi Prabowo Subianto.
Baca juga: Trimedya PDIP Duga Jokowi Sedang Bangun Dinasti Politik, Putusan MA untuk Loloskan Kaesang
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru pada 16 Oktober 2023 lalu.
Pada gugatan ini pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar. Sebab dalam putusan itu kental akan dugaan konflik kepentingan antara hakim konstitusi Anwar Usman yang merupakan Ketua MK saat itu dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Alhasil putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
Terbaru, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Partai Garuda tentang aturan syarat batas minimal usia calon kepala daerah.
Hal tersebut ditegaskan MA melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diputus pada Rabu (29/5/2024).
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda)," demikian amar putusan tersebut sebagaimana tersedia di laman resmi MA.
MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Baca juga: Dinasti Politik, Perludem Ungkap Bahaya Pemilu Bersandar Hukum Tanpa Etik, Singgung Adolf Hitler
Melalui putusan tersebut, MA mengamanatkan KPU untuk mengubah Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU, dari yang semula mensyaratkan calon gubernur (cagub) dan wakil cagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon terpilih.
Adapun Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU yang dinyatakan bertentangan tersebut berbunyi:
"berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon",
Sedangkan MA mengubah Pasal a quo menjadi:
"....berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".
Selanjutnya, MA memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota tersebut.
Putusan MA ini kemudian diduga menjadi karpet merah lagi-lagi untuk putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang disebut-sebut akan maju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2024 nanti.