Dicap Sebagai 'Kampung Maling', Ini Legenda Sukolilo yang Berkaitan Dengan Raja-raja Mataram
Julukan itu bukan tanpa alasan, di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah tersebut terjadi peristiwa memilukan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Beberapa waktu belakangan ini, nama Sukolilo menjadi terkenal. Namun terkenal karena mendapat julukan baru yang sangat buruk, seperti 'kampung maling', 'desa penadah' dan lain-lain.
Julukan itu bukan tanpa alasan, di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah tersebut terjadi peristiwa memilukan.
Seorang pemilik mobil rental tewas dihajar oleh warga Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo karena dianggap sebagai pencuri mobil.
Baca juga: Pelaku Penggelapan Mobil Bos Rental yang Tewas di Sukolilo Pati Pakai Identitas Palsu
Padahal korban merupakan pemilik mobil yang datang untuk mengambil paksa kendaraannya yang tidakdi kembalikan oleh seorang warga Sumbersoko.
Peristiwa tersebut akhirnya mengungkap bahwa sejumlah warga wilayah tersebut, merupakan jaringan penadah kendaraan hasil kejahatan.
Warganet pun langsung menuding daerah tersebut sebagai 'kampung maling' dan 'desa penadah' bahkan menuliskan julukan tersebut pada lokasi Kecamatan Sukolilo di googlemaps.
Asal-usul Nama Sukolilo
Terlepas dari peristiwa tersebut, nama Sukolilo sebenarnya menjadi doa untuk masyarakat setempat.
IAIN Kudus Repository dalam sebuah artikelnya menyebutkan Sukolilo berasal dari dua kosakata Suko berarti senang dan Lilo yang berarti ikhlas.
Dengan harapan masyarakat Sukolilo memiliki budi pekerti senang, ikhlas, saling menolong dan senang memberi. Mengenai sejarah nama Sukolilo sendiri belum diketahui secara pasti.
Sementara dalam sebuah blog https://sukolilodesa.wordpress.com/ menceritakan sejarah nama Sukolilo yang tak lepas dari leganda pada zaman kerajaan Mataram Islam.
Baca juga: Hasil Rekaman Google Maps, Banyak Motor di Sukolilo Pati Tak Berpelat Nomor, Warganet Curiga
Dalam blog tersebut menceritakan bahwa nama Sukolilo dihubungkan dengan legenda pertemuan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan yang diperkirakan hidup pada abad ke XV-XVI.
Ketika itu Ki Ageng Pemanahan mencari kakak seperguruannya Ki Ageng Giring di wilayah Sumbersoko. Saat sampai di rumahnya, ternyata Ki Ageng Giring tidak berada di rumah, ia sedang berada di sawah.
Kemudian Ki Ageng Pemanahan dijamu oleh Nyai Ageng Giring. Kemudian istri Ki Ageng Giring itu menyuguhkan degan atau air kelapa muda kepada sang tamu.
Saat pulang, Ki Ageng Giring langsung mencari air degan yang akan diminumnya. Ki Ageng Giring marah kepada Nyai Ageng karena airnya telah disuguhkan pada adik seperguruannya itu.
Namun kemarahan tersebut dapat ditahan menyadari yang meminumnya adalah adik seperguruannya. Lalu Ki Ageng Giring pun mengatakan bahwa air kelapa muda tersebut memiliki petuah.
Petuah tersebut adalah bahwa siapapun yang meminum air kelapa tersebut niscaya akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Ternyara air kelapa yang diminum oleh Ki Ageng Pemanahan memiliki petuah, niscaya siapapun yang meminum air kelapa tersebut akan melahirkan raja-raja di tanah Jawa. Yang artinya bahwa keturunan Ki Ageng Pemanahan yang bakalan jadi raja, bukan keturunan Ki Ageng Giring.
Ki Ageng Giring pun meminta kepada Ki Ageng Pemanahan untuk menjadikan agar kelak merelakan keturunannya (Ki Ageng Giring) menjadi raja pada keturunan ketiga.
Namun permintaannya tersebut ditolakoleh adik seperguruan Ki Ageng Giring, tawar-menawar berlangsung lama, hingga menghasilkan kesepakatan kelak pada keturunan ketujuh menjadi raja di tanah Jawa.
Saat sang tamu pamit, Ki Ageng Giring pun mengantar Ki Ageng Pemanahan sampai Tulang Tumenggung (lokasi penyebrangan aliran sungai Sumber Lawang yang memiliki dua muara).
“Dhi, sampai sini saja saya dapat mengantarkan adhi (Dik sampai sini saja saya mengantarkan adik),” kata Ki Ageng Giring.
“Ya, Kang, maturnuwun tindak apik kakang marang aku. Lelakon sing wis dak tindakake wingi-wingi, nyuguh karo degan sing tak ombe banyune aku yo ora ngerti sak sukolilamu aku njaluk pengapuro. (Ya kak, terimakasih atas tindakan baik kakak pada saya. Kejadian kemarin-kemarin, air kelapa yang kuminum kemarin, saya tidak tahu sama sekali. Saya minta maaf dan keikhlasanmu,” kata Ki Ageng Pemanahan.
“Yo, dhi, podho-podho pengapurane (Iya dik, sama-sama minta maaf,” jawab Ki Ageng Giring.
Talang Tumenggung merupakan saksi ucapan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, hingga menjadi nama “Sukolilo”.
Entah pertemuan kedua orang tersebut benar atau tidak namun yang jelas keduanya merupakan tokoh masa lalu yang berpengaruh di tanah Jawa.
Ki Ageng Pemanahan yang merupakan keturunan Raja Brawijaya V merupakan seorang tokoh bersejarah melahirkan banyak raja zaman Mataram Islam.
Anak sulung Pemanahan yaitu Sutawijaya atau Panembahan Senopati berhasil memerdekaan Kadipaten Mataram dari Pajang menjadi kerajaan sendiri hingga keturunannya yang menjadi raja-raja Mataram.
Tak Ingin Ada Main Hakim Lagi
Terlepas dari nama baik berdasarkan legenda tersebut, nama Kecamatan Sukolilo kini sangat buruk di mata masyarakat Indonesia, karena ulah sebagian warganya itu.
Bahkan Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi merasa tak rela wilayah tersebut dicap sebagai kampung maling.
Menurutnya, masih banyak warganya yang taat hukum. ”Saya ndak mau di sini dilabeli di maps kampung bla-bla, masyarakat bla-bla. Karena di Sukolilo masih banyak masyarakat yang taat hukum. Masih banyak yang baik,” ujar Ahmad Luthfi.
Kapolda memaknai Sukolilo sebagai kampung masyarakat yang suka ikhlas beramal dan berkorban. Ia tak mau peristiwa main hakim sendiri yang berakhir dengan korban tewas tak terjadi lagi.
”Semoga ndak ada kejadian seperti kemarin. Itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja. Kami ndak ingin Sukolilo seperti kemarin lagi,” tutur dia.