Sudah Diatur dalam KUHP Baru, Hukuman Kerja Sosial untuk Narapidana Butuh Aturan Teknis
Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan denda untuk memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki kesalahannya
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakartamenggelar Seminar Nasional bertajuk “Penerapan Pidana Kerja Sosial: Potensi Keberhasilan dan Kegagalan” di kampus Fakultas Hukum UKI Cawang, Jakarta Timur, Rabu 5 Juli 2024.
Seminar ini menghadirkan para ahli hukum terkemuka untuk membahas berbagai aspek terkait penerapan pidana kerja sosial di Indonesia.
Diantaranya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Jaksa Ahli Madya Kejaksaan Agung RI Filpan Fajar Dermawan, serta Lonna Yohannes Lengkong, dosen tetap Fakultas Hukum UKI.
Seminar ini mengupas permasalahan Pidana Kerja Sosial (PKS). Seperti diketahui PKS adalah salah satu jenis pidana yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2026.
Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan denda untuk memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki kesalahannya melalui kerja sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.
Meskipun sudah diatur dalam KUHP yang baru, pengaturan teknis aturan pelaksanaan Pidana Kerja Sosial belum ada.
Baca juga: Warga Binaan Lapas Kelas I Cipinang Sebarkan Foto Syur ABG, Peras Keluarga Korban Rp600 Ribu
Beberapa hal yang melatar belakangi kebutuhan alternatif penjara diantaranya over capacity Rutan dan Lapas yang hingga saat ini mencapai 91,05 persen, banyaknya norma pengancaman sanksi pidana penjara, serta pandangan bahwa pidana penjara tidak begitu efektif untuk menanggulangi kejahatan dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar FHUI, perlu ada alternatif hukuman mengingat tingginya angka narapidana dan kapasitas yang terbatas. Menurutnya penerapan dari hukuman pidana yang berupa kerja sosial ini memerlukan perhatian khusus dari banyak pihak termasuk pemerintah.
“Alternatif pidana penjara ini diakibatkan karena overcrowding-nya penjara di Indonesia dan tingginya beban atau anggaran yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah.
Namun demikian, masih ada tantangan yang harus diperhatikan dalam penerapan pidana kerja sosial ini, seperti persepsi publik yang negatif, bagaimana implementasinya, dan pengelolaan manajemen risikonya” terangnya.
Walaupun beberapa negara seperti Canada telah menerapkan pidana kerja sosial, namun masih perlu dikaji ulang dan menjadi dapat menjadi alternatif bagi pemerintah. Filpan Fajar Dermawan, Jaksa Ahli Madya, Kejaksaan Agung RI menyampaikan perlunya landasan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman dengan bentuk pidana kerja sosial.
“Di negara yang menganut Common Law maupun Civil Law, sudah lama menerapkan pidana kerja sosial (Community Service). Contohnya di Criminal Code of Canada Section 718 dan section 718.2, mengatur prinsip-prinsip dan tujuan hukuman yang mencakup rehabilitasi, pencegahan dan reparasi. Ini menjadi landasan bagi hakim untuk menjatuhkan “community service orders”. Demikian juga di Belanda, Pidana Kerja Sosial (Community Service) merupakan salah satu pidana pokok yang diatur pada Section 9 Dutch Criminal Code.”
“Belajar dari penerapan pidana kerja sosial di negara lain, dapat dipahami bahwa penerapan sanksi sosial pada akhirnya dapat mendasari hakim untuk menjatuhkan pidana penjara, dikarenakan adanya potensi bahwa narapidana tidak melaksanakan pekerjaan yang telah ditugaskan secara baik dan memuaskan” terang Filpan.