Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

SETARA Institute Kritik Usulan Penghapusan Larangan Prajurit Berbisnis Dalam Revisi UU TNI 

SETARA Institute mengkritik revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang saat ini tengah berproses

Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
zoom-in SETARA Institute Kritik Usulan Penghapusan Larangan Prajurit Berbisnis Dalam Revisi UU TNI 
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
ILUSTRASI Sejumlah prajurit TNI menaiki kendaraan tempur melakukan defile usai upacara peringatan HUT ke-77 TNI di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (5/10/2022). Peringatan HUT TNI di Istana dimeriahkan oleh pertunjukan pesawat tempur, pameran alutsista dan defile pasukan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute mengkritik revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang saat ini tengah berproses baik di Pemerintah maupun DPR.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyatakan Revisi UU TNI mengalami perkembangan yang mengkhawatirkan dalam penambahan muatan-muatan pasal usulan perubahannya.

Ia mencatat perubahan tersebut dari semula hanya dua Pasal, yakni Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan, di antaranya bertambah dengan Pasal 39 mengenai larangan bagi prajurit TNI untuk berbisnis.

"Sorotan utama terdapat dalam usulan perubahan pada dua Pasal, yakni Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini," kata Ikhsan ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Minggu (14/7/2024).

"Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat," sambung dia.

Ia juga memandang usulan perubahan pada Pasal-pasal tersebut juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas yang diwujudkan melalui usulan perubahan lainnya mengenai perincian ruang lingkup dan definisi ketentuan Operasi Militer untuk Perang dalam Pasal 7. 

BERITA TERKAIT

Untuk itu, kata dia, SETARA Institute memberikan sejumlah catatan atas muatan-muatan usulan perubahan dalam Revisi UU TNI.

Pertama, kata dia, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.

Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, kata dia, maka melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi.

Ia memandang usulan tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer.

"Sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," kata dia.

Kedua, SETARA Institute, juga mencatat bahwa argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan. 

Menurutnya, keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut dan/atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando. 

Menurutnya hal itu berbeda konteks dengan norma Pasal 39. 

Ia mengatakan mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam Pasal 39 justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis.

"Oleh karena itu, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, misalnya dalam Penjelasan pasal tersebut, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI," kata dia.

Ketiga, pihaknya mencatat penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) meruntuhkan pembatasan Kementerian/Lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.

Baca juga: Pemerintah Ingin Revisi UU Polri dan UU TNI, Kemenko Polhukam Buka Hotline Terima Masukan Publik

Perubahan yang diusulkan, kata dia, berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada K/L lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden. 

"Selain itu, tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk K/L lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara, mengingat tidak terdapat diksi '...berkaitan dengan pertahanan negara' dalam ketentuan tersebut," kata dia.

Keempat, berkaitan dengan usulan perubahan Pasal 47 tersebut, lanjut Ikhsan, Naskah Akademik (NA) yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI

Dalam NA, kata dia, disebutkan bahwa penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 ayat (2) UU TNI saja. 

Sebab, lanjut dia, terdapat perkembangkan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya. 

Kelima, kata dia, meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.

Dampak jangka panjangnya, kata dia, menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum.

"Berkenaan dengan catatan-catatan tersebut, SETARA Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil," kata dia.

"Dalam pandangan SETARA, kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara," sambung dia.

TNI Usulkan 7 Pasal Lain Juga Dibahas

Sebagaimana diketahui, DPR telah menetapkan dua pasal dalam UU TNI yakni pasal 47 terkait perluasan penempatan jabatan perwira aktif TNI dan pasal 53 tentang usia pensiun prajurit sebagai RUU Perubahan inisiatif DPR.

Namun demikian, dalam perkembangannya Panglima TNI mengajukan surat kepada Kemenko Polhukam untuk turut membahas 7 pasal pada batang tubuh dan satu pasal pada penjelasan UU TNI.

Pasal-pasal tersebut antara lain; pasal 1 angka 6, 7, 8, 9, 21 terkait ketentuan umum; pasal 7 terkait operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP); pasal 8, 9, dan 10 tentang Tugas TNI AD, AL, dan AU; pasal 39 tentang larangan prajurit terlibat dalam bisnis; pasal 71 tentang ketentuan peralihan pasal 53; dan penjelasan pasal 55 huruf e terkait status prajurit yang meninggal dunia.

Kababinkum TNI Laksda Kresno Buntoro menyatakan usulan tersebut didasarkan pada kondisi dan situasi yang telah dihadapi TNI hari ini.

Hal itu disampaikannya dalam acara Dengar Pendapat Publik bertajuk RUU Perubahan UU TNI dan UU Polri di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (11/7/2024).

"Oleh karena itu dalam Surat Bapak Panglima TNI menyarankan ada usulan pembaruan, bukan mengada-ada tetapi eksisting yang sudah dilakukan TNI itu dimasukkan," kata Kresno dikutip dari kanal Youtube Kemenko Polhukam RI pada Minggu (14/7/2024).

"Termasuk juga adalah TNI bukan berada di dalam ruang yang steril. TNI itu merupakan bagian dari komponen bangsa. Oleh karena itu harus diatur bagaimana hubungan kelembagaan, relasi kelembagaan di dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara," sambung dia.

Terkait dengan usulan TNI teekait penghapusan larangan keterlibatan prajurit dalam berbisnis pada pasal 39 yang disorot, Kresno mengakui usulan tersebut kontroversial.

Namun demikian, ia menjelaskan saat ini sejumlah prajurit pada faktanya telah turut terlibat berbisnis.

Ia pun mencontohkan dirinya kerap membantu istrinya yang berjualan dan sopirnya yang kadang-kadang menyambi sebagai tukang ojek di luar dinas.

Seharusnya, menurut dia yang dilarang berbisnis adalah institusi TNI bukan personelnya.

"Oleh karena itu kita sarankan ini dibuang. Mestinya yang dilarang adalah institusi TNI berbisnis," kata Kresno.

Setelah memparkan hal tersebut, ia menyatakan pihaknya sangat terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut terkait usulan-usulan tersebut.

Baca juga: Revisi UU TNI Dikhawatirkan Mengembalikan Dwi Fungsi ABRI, DPR Diminta Hentikan Pembahasannya

"Itu adalah beberapa pasal dari Tim TNI yang kemudian diwujudkan oleh surat Bapak Panglima TNI kepada Menko Polhukam. Kemudian saya kira nanti akan ada naskah akademik, ada detail DIM-nya. Dan Tim dari Mabes TNI sangat terbuka untuk kita berdiskusi lebih lanjut," kata Kresno.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas