Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Dinilai Lama, Lima Pemohon Minta MK Atur Norma Percepatan
Mereka meminta kepada MK untuk agar MPR segera melantik presiden dan wakil presiden terpilih selambat-lambatnya pada tiga bulan setelah penetapan
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lima warga menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Gugatan ini diajukan oleh lima Pemohon, yakni Audrey G Tangkudung, Rudi Andries, Desy Natalia Kristanty, Marlon S C Kansil, dan Meity Anita Lingkani.
Pasal 416 ayat (1) berbunyi, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
Mereka meminta kepada MK untuk menambahkan ketentuan tentang MPR harus segera melantik presiden dan wakil presiden terpilih selambat-lambatnya pada tiga bulan setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pasal tersebut.
“Majelis Yang Mulia dapat mempertimbangkan hal ini untuk dapat memasukkan atau tambahan daripada Pasal 416 ayat (1) paling tidak selambat-lambatnya tiga bulan dilantik untuk menjadi presiden yang terpilih dan tetap oleh MPR,” ucap kuasa hukum para Pemohon, Daniel Edward Tangkau, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 65/PUU-XXII/2024, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Rabu (17/7/2024).
Sementara itu, Pemohon Desy yang turut hadir di ruang sidang menilai, pelantikan presiden dan wakil presiden cukup lama sampai delapan bulan sejak diumumkan terpilih oleh KPU. Menurutnya, hal ini menimbulkan kekosongan hukum.
“Saat ini, kami meminta kepada MK diterbitkannya norma baru soal percepatan waktu pelantikan,” kata Desy.
Adapun berkas permohonan perkara ini terdiri dari dua halaman. Para Pemohon menjelaskan beberapa alasan yang diajukan, di antaranya mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan global, mempertimbangkan kondisi politik geopolitik global, serta mempertimbangkan kepastian hukum.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar ketentuan dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu tersebut ditambahkan frasa, “apabila calon presiden dan calon wakil presiden terpilih telah memperoleh suara pada pemilu putaran pertama lebih dari 50 persen dan setelah ditetapkan oleh KPU maka MPR harus segera melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambatlambatnya pada 3 bulan setelah ditetapkan oleh KPU”.
Merespons permohonan ini, Hakim Arief Hidayat mengatakan, permohonan yang diajukan para Pemohon tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat dengan mudah dikatakan permohonan kabur.
Baca juga: Demokrat Sebut Prabowo Tidak Perlu Mundur dari Menhan RI Jelang Pelantikan, Diminta Tiru Jokowi
Arief menyarankan para Pemohon mempelajari Peraturan MK (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menjelaskan poin-poin yang harus dimuat dalam permohonan.
Misalnya seperti identitas Pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan, serta petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian.
Arief menjelaskan, para Pemohon seharusnya menjelaskan mengenai pertentangan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai konstitusi.