Pakar Hukum Sebut RUU Polri Bukan Reformasi Kepolisian, Ini Alasannya
Ia mengatakan, sudah banyak kajian mengenai isu-isu yang mencuat terkait institusi kepolisian. Misalnya, soal kekerasan, korupsi, hingga persepsi.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Kedua, penggunaan kata 'ketertiban'. Ia mencontohkan praktik kata ketertiban itu dengan kasus kematian Afif Maulana, pelajar SMP di Padang yang tewas diduga dianiaya polisi.
"Pada umumnya, ada anggapan bahwa pokoknya harus tertib. Makanya anak kecil, Afif dan teman-temannya, dia mau tawuran, melanggar ketertiban kah tawuran? Iya. Tapi apakah sampai harus diperlakulan seperti itu, kan tidak," ucapnya.
"Tapi kan timbul anggapan bahwa pokoknya asal tertib, semua libas. Itu yang mengerikan dengan newspeak seperti ini," tambahnya.
Ketiga, kata Bivitri, soal penggunaan kata 'kepentingan nasional'.
"Apa itu kepentingan nasional? Apakah kepentingan saya? Kepentingan seluruh bangsa ini? Kepentingan korporasi?" tutunya.
Ia menjelaskan, salah satu asas pembentukan perundang-undangan (PPP) adalah kejelasan rumusan atau tidak adanya ambiguitas.
"Kita haru ingat salah satu asas dalam pembentukan perundang-undangan, kejelasan rumusan. Pasal 5 huruf f UU PPP," katanya.
Ia menjelaskan mengapa asas itu diatur dalam UU. Katanya, jika ada penggunaan kata-kata yang tidak jelas dalam ketentuan UU tertentu, maka akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas oleh pihak tertentu.
"Dia akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas untuk kepentingan orang-orang yanh punya kekuasaan. Kekuasaan itu dari power politik maupun modal ya. Akhirnya di situlah terjadi yang kita namakan pasal-pasal karet."