Koalisi Masyarakat Sipil dan Adat Papua Gelar Aksi Beri Petisi ke MA Soal Perlindungan Hutan
Aksi yang dilaksanakan untuk kali kedua ini masih bertujuan untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Bobby Wiratama
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perwakilan masyarakat adat Papua dari suku Awyu dan suku Moi Sigin bersama koalisi masyarakat sipil menggelar aksi depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, pada Senin (22/7/2024) pagi.
Aksi yang dilaksanakan untuk kali kedua ini masih bertujuan untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.
Pantauan Tribunnews.com, beberapa perwakilan masyarakat suku Awyu dan Moi Sigin tampak menggunakan pakaian adat mereka.
Mereka juga menampilkan tarian-tarian dalam aksi damai tersebut.
Kuasa hukum suku Awyu sekaligus Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji mengatakan, pihaknya diterima empat orang perwakilan humas MA untuk menyerahkan petisi secara langsung.
"Dari obrolan tadi, setelah kami sampaikan petisinya dan juga kami menyampaikan bagaimana pentingnya penyelamatan hutan untuk suku Awyu dan suku Moi dan pentingnya MA untuk berpihak pada keadilan masyarakat adat," kata Sekar, kepada wartawan di depan gedung MA, Jakarta, pada Senin.
Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga perkara kasasi yang diajukan suku Awyu ke MA terkait penyelamatan hutan. Dua dari tiga perkara berasal dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta dan satu perkara lainnya dari Jayapura.
Ia menyampaikan, baru satu dari tiga perkara yang ada tersebut, yang diterima MA sekaligus mendapatkan nomor registrasi perkara, yakni perkara dari Jayapura.
"Dan kita belum tahu sedang ada di level mana prosesnya," ucapnya.
"Dari update itu, MA, kita sebenarnya tahu bagaimana susahnya mengakses keadilan bagi masyarakat adat," tambah Sekar.
Lebih lanjut, ia menyinggung, MA begitu cepat memutus kasus tertentu, misalnya soal aturan usia calon kepala daerah, yang tidak sampai sepekan rampung diputus. Namun, berbeda sikap ketika menangani perkara yang diajukan masyarakat adat ini.
Baca juga: Pertaruhan Masyarakat Adat Papua, Takut Hutan Digusur Hanya untuk Sawit
"Giliran kasus masyarakat adat, berbulan-bulan, hampir lebih dari tiga bulan baru kasusnya dapat nomor," ucapnya.
"Dari situ sebenarnya kita tahu celah bahwa sistem peradilan kita enggak dibuat untuk keadilan masyarakat adat," kata Sekar.
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung koalisi, di antaranya Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia.
Sebagai informasi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado menolak banding gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang dilayangkan Hendrikus Woro, seorang pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.
Putusan tertanggal 1 Maret 2024 tersebut menambah daftar panjang kabar buruk bagi masyarakat adat suku Awyu, setelah sebelumnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak gugatan yang sama.
Majelis hakim PTTUN Manado menolak gugatan dikarenakan sudah melewati batas waktu.
Menurut majelis hakim, gugatan Hendrikus Woro ke PTUN Jayapura melebihi tenggat 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa, yakni izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Untuk diketahui, Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia