MUI: Uang Hasil Judi Online Haram Digunakan untuk Makan dan Minum
Judi memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan. Judi membuat seseorang menjadi malas mengerjakan ibadah serta jenuh hatinya dari mengingat Allah
Penulis: willy Widianto
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan dalam syariat Islam, judi salah satu perbuatan yang dilarang dan haram hukumnya termasuk judi online. Judi termasuk dosa besar yang sangat berbahaya dan sangat besar dampak mudaratnya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda mengatakan, judi memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan. Judi membuat seseorang menjadi malas mengerjakan ibadah serta jenuh hatinya dari mengingat Allah SWT.
"Selain membentuk tabiat yang jahat, berjudi dapat memicu seseorang jadi pemalas dan pemarah," kata Kiai Miftah dikutip dari mui.or.id, Jumat(26/7/2024).
Kiai Miftah menekankan, judi online juga dapat menyebabkan kemiskinan dan merusak hubungan rumah tangga. Hal ini akibat keinginan memenuhi nafsu untuk bermain judi, seseorang akan mempertaruhkan hartanya.
"Pada akhirnya dia melupakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Bahkan bagi penjudi berat terkadang dapat mempertaruhkan anak dan istrinya," kata dia.
Dia mengatakan, judi termasuk perbuatan haram dalam Islam. Hal ini karena permainan judi termasuk dalam kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian.
"Uang hasil judi haram untuk digunakan," ujarnya.
Kiai Miftah mengatakan, jika seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan istri) telah mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah, maka hal itu wajib ditinggalkan, artinya jangan dimakan.
"Sebab, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut," tuturnya.
Kiai Miftah menerangkan, darah yang mengalir dalam tubuh dari hasil sesuatu yang haram maka akan membentuk tubuh, jiwa dan tabiat yang tidak baik. Demikian juga, jika seorang diajak makan, dan ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan dalam pertemuan tersebut haram, maka haram baginya untuk memenuhi ajakan tersebut.
“Seorang Muslim yang diundang oleh seseorang yang sebagian besar hartanya haram, maka ia makruh untuk memenuhi undangan tersebut, sebagaimana ia makruh untuk melakukan transaksi dengannya. Jika ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan haram, maka haram baginya untuk memenuhi undangan tersebut," tegas Kiai Miftah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.