Ridwan Hisjam: Kalau Takut Dipenjara Jangan Jadi Ketua Umum Golkar
Partai Golkar 'goyang' di tengah mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pakar Golkar Ridwan Hisjam mengatakan mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum nembuat situasi menjadi kacau.
Ridwan justru mempertanyakan keputusan Airlangga yang baru dilakukan sekarang.
“Enggak setahun yang lalu harusnya mundur. Jadi begitu bener. Kok baru sekarang. Kuncinya Paradigma baru Golkar. Jangan separuh-separuh,” katanya saat podcast di kantor Tribun Network, Jakarta, Senin (12/8/2024).
“Jadi kalau wani-wani yo. Ojo wani gak wani. Saya gak usah jelasin contohnya apa. Banyak contoh-contohnya,” ucapnya.
Menurutnya mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung telah melakukannya menghadapi meski tersandera kasus Bulog-gate.
Ridwan menyebut Akbar Tandjung berani terus sampai detik terakhir berani masuk pengadilan lalu mahkamah agung hingga di penjara.
Hasilnya Golkar menang suara pemilu terbanyak Pemilu 2004.
“Kalau separuh-separuh membulet deh. Membulet iki. Nah ini dia (Airlangga) kena santap sendiri. Dari proses kemandirian partai Golkar. Paradigma baru Golkar iki mas. Tidak asal-asal loh mas. Melalui proses meditasi loh mas. Jadi ojo wani-wani. Simbol Golkar itu jujur,” tuturnya.
“Kalau takut di penjara jangan jadi Ketua Umum,” pungkasnya.
Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Ridwan Hisjam:
Pak Ridwan kencang betul bersuara terkait dengan sosok Pak Airlangga Hartarto. Kencangnya tuh kencang negatif. Kenapa ini, Cak Ridwan?
Ya, kalau saya sih tidak ada masalah dengan Cak Airlangga. Airlangga saya panggil Cak juga karena lahir di Surabaya. Cuma besarnya di Jawa Barat, di Jakarta.
Bukan masalah pribadi Airlangga, tetapi masalah kepemimpinan di dalam membawa Partai Golkar. Nah, karena saya ini timnya Airlangga.
Di Bali 2016, Airlangga cuma dapat 14 suara. Saya ada di Airlangga. Itu, saya sama dia.
Tetapi begitu dia memimpin, saya sangat kecewa.
Ya, apanya Pak Ridwan? Karena apa kecewa?
Dia tidak melaksanakan keputusan yang sangat bersejarah merubah Golkar di zaman Orde Baru menjadi Partai Golkar. Di mana kita membuat paradigma baru.
Namanya paradigma baru Partai Golkar. Nah, itu diputuskan tahun 1.999. Di zaman Ketua Umumnya Akbar Tanjung.
Saya waktu itu Ketua di Jawa Timur. Kita ini berdarah-darah di Jawa Timur. Melakukan perubahan itu. Golkar ini sudah ada seharusnya.
Bubar sudah. Bendera-bendera sampai Lawang, Surabaya. Tau bagaimana kantor saya dibakar. Tahun 2001. Di Jalan Ahmad Yani.
22 kantor dibakar juga di Kabupaten Kota di Jawa Timur dari 38. Jadi kita ini bukan ngomong nyawa yang kita inikan. Makanya begitu saya lihat Golkar melenceng dari Paradigma Baru Golkar. Saya berdiri di depan.
Cak Ridwan harus sampaikan dulu Paradigma Baru Golkar itu apa?
Jadi Paradigma Baru Golkar itu setelah kita selama sekian tahun dari Sekber Golkar tahun 1964.
20 Oktober waktu itu didirikan.
Itu zamannya siapa?
Bung Karno. Ide-nya Golkar itu ide-nya Bung Karno. Pendirinya itu adalah orang-orang pembantunya Bung Karno. Namanya satu Mas Isman, Komandan Tentara RI dan Pendiri Kosgoro habis itu Pak Gandhi, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Pembantunya juga. Satu lagi Suhardiman. Ada satu lagi yang selama ini tidak pernah tampil. Gakari. Mayor General Gatot Swagio. Angkatan Darat. Propamnya Angkatan Darat ini. Inilah Cikal Bakal Golkar Sekber. Nah, habis itu 1971 ikut pemilu kan.
Berubah menjadi golongan karya. Menang kita. Sampai 1997 menang. Reformasi. 1998. Pemilu lagi 1999. Kalau kita tidak melakukan perubahan. Mengikuti reformasi maka habis dibubarkan.
Waktu itu sudah dibubarkan. Saya jadi Ketua Golkar bukan karena saya hebat. Tentara-tentara mohon maaf. Tiarap semua. Saya aktivis mahasiswa 77-78 di ITS di Surabaya.
Akbar Tanjung bilang Wan Kau jadi Ketua Golkar.
Kalau kau tidak jadi Ketua Golkar tidak bisa kerja saya. Saya ini Ketua Real Estate Jawa Timur di Surabaya. Waktu itu sampai terbangun perumahan banyak saya. Bayangkan saya pengusaha disuruh jadi Ketua Golkar.
Arek Surabaya 45. Jadi setelah itu Golkar berubah. Golkar Partai yang tidak mandiri. Menjadi Partai Mandiri. Perubahnya itu ya. Tidak mandiri jadi mandiri. Partai yang terbuka dulu tidak terbuka. Ada keputusan.
Jadi mandiri itu artinya tidak tergantung pada pemerintah?
Tidak tergantung kepada siapapun. Tidak pemerintah saja, kepada siapapun. Dia berdiri sendiri. Masalah anggaran, masalah kebijakan, keputusan. Itu harus dari diri.
Dia partai yang modern. Manajemennya harus terbuka. Mandiri, terbuka, modern. Kalau kepemimpinan Pak Airlangga tertutup. Bisik-bisik lalu ada keputusan. Kaget-kaget semuanya.
Tidak mandiri. Saya ini anggota fraksi Partai Golkar sudah lima periode, sudah tua mulai 1.997. Orde baru. Saya sudah di Senayan. Selama tahun 1.994, selama periode Pak Airlangga. Satu kali rapat fraksi.
Padahal seharusnya, setiap kali kita reses. Harus rapat fraksi pelindung. Ketua Umum Partai memberikan arahan kepada semua anggota fraksi.
Untuk turun ke daerah. Aspirasi rakyat mendengar dan lapor kepada DPP. DPP bikin kebijakan mana tidak pernah. Karena Partai yang harus mendengarkan aspirasi rakyat. Harus menarikkan. Cek and recheck.
Ada kebijakan benar nggak ini? Cek dulu ke bawah. Oh, nggak benar. Harus diunah karena Partai ini adalah Partai Rakyat. Partai terbuka. Satu-satunya saya bisa klaim. Partai terbuka di Indonesia ada Golkar.
Nah kita tahu bagaimana Pak Soeharto memimpin sekian puluh tahun ya. Ketua Dewan Pemimpinan. Tapi waktu itu reformasi nggak ada. Anak-anaknya Pak Harto.
Nah sekarang ini ketidakmandiriannya ketika Pak Airlangga memimpin Golkar apa buktinya? Contohnya apa?
Ini banyak contohnya. Tapi ini yang fatal keputusan Munas Bali 2014. Munas Jakarta 2019. Calonnya itu dari delapan.
Proses-proses ada yang disuruh mundur. Sampai tinggal dua saya dan Pak Airlangga. Saya disuruh mundur.
Jadi kemandiriannya Pak Ridwan disuruh mundur?
Nggak mau saya.
Yang nyuruh siapa?
Ya jangan disebutlah.
Pokoknya yang punya kuasa kira-kira ya?
Ya. Tapi dia tidak langsung juga akan lewat.
Pak Ridwan suruh mundur?
Mundur. Nggak bisa. Partai yang mundurkan saya. Jangan orang lain ya kemudian diaklamasikan. Di forum. Saya tidak dikasih waktu untuk berbicara. Menyampaikan visi-misi sebagai calon ketua umum.
Saya sudah nggak setuju. Ada jejak digitalnya. Saya tidak setuju kalau Ketua umum Airlangga diputuskan menjadi calon presiden. Terus jalan eh begitu mau calon presiden. Nggak wani maju.
Oh tdak berani maju?
Nggak wani maju.
Itu artinya kemandiriannya nggak ada gitu?
Nggak mandiri tuh karena keputusan Munas harus dia laksanakan. Kalau dia nggak berani seharusnya mundur.
Di mana mengubahnya Munas?
Ya Munas nggak bisa rapim. Itu tidak mandiri.
Mengapa kok tidak maju terus sebagai capres menurut yang Cak Ridean ketahu?
Ya semua orang tahu sih. Bukan saya saja yang tahu, kalau maju terus bisa gawat selesai dan tamat riwayatnya ya.
Apakah ini pernah dialami oleh Golkar?
Pernah oleh Akbar Tanjung yaitu dipolitisasi.
Ketika Buloggate (penyalahgunaan dana), dia sempat ditahan itu di kejaksaan. Kita kejaksaan satu bulan. Bertahan dia masuk proses pengadilan sampai mahkamah agung. Alhamdulillah.
Maksudnya Cak Ridwan, Airlangga harus punya karakter seperti itu?
Masuk penjara yuk masuk sudah risiko. Kalau gak wani jangan adi politisi Ketua Umum Golkar.
Oh itu ya masalahnya?
Itu masalahnya saya bukan menolak Gibran loh ya. Gibran itu elektabilitasya tinggi karena Pak Jokowi kan. Tapi prosesnya harus melalui Munas bukan Rapimnas.
Nah disitu saya. Saya ngomong langsung Munaslub.. Jadi istilah Munaslub saya sudah keluarkan di bulan Juli 2020. Dan saya. Saya datang ke kantornya Pak Airlangga jam 5 sore.
Diterima di kantor Menko. Mas ini begini, begini, begini. Gak wani. Buat poros keempat.
Pilpres waktu itu ada Pak Anies, ada Mas Ganjar, ada Pak Prabowo. Harusnya Pak Airlangga poros keempat?
Dan itu resmi saya Dewan Pakar. Aku ini yang gak ele-ele. Ini Dewan Pakar ini. Sebagian pakar-pakar Golkar ini. Resmi.
Kalau lihat itu kan pasti kalah kan?
Ya gak apa-apa.
Gak penting ya? Kalah menang gak penting ya?
Aku ini dua kali maju Pilgub Jawa Timur. 2003 didukung Gus Dur, PKB, Golkar. Kalah kok aku.
Gak masalah?
Gak masalah. Terus 2008 maju lagi bareng PDIP Cak Sucipto Sekjen PDIP. Kalah maning yo gak apa-apa wong bertanding.
Yang penting gagah gitu ya?
Dua-dua bertanding kok udah kalah. Ya jangan masuk pertandingan dong. Pasti kan ada yang kalah menang. Ya kalau kalah baru kita dukung siapa.
Selain karena elektabilitas apa yang bikin gak berani?
Itu tadi. Ya mau. Karena tersandera itu tadi?
Ya mau lah. Aku ya apa. Nasib ku iki rek.
Ketika kemarin Mas Airlangga Hartarto itu mundur Cak Ridwan terkejut gak?
Enggak setahun yang lalu harusnya mundur. Jadi begitu bener.
Kok baru sekarang.
Kuncinya Paradigma baru Golkar yang lima tadi itu. Jangan separuh-separuh.
Jadi kalau wani-wani yo. Ojo wani gak wani. Saya gak usah jelasin contohnya apa. Banyak contoh-contohnya.
Akbar Tajung berani terus. Sampai detik terakhir berani. Menang Golkar 2004.
Meskipun risikonya dia harus masuk penjara?
Masuk penjara. Jadi paradigma baru gak boleh separuh-separuh.
Kalau separuh-separuh membulet deh. Membulet iki.
Nah ini dia kena santap sendiri. Dari proses kemandirian partai Golkar. Paradigma baru Golkar iki mas.
Tidak asal-asal loh mas. Melalui proses meditasi loh mas. Jadi ojo wani-wani. Simbol Golkar itu jujur.
Itu proses meditasi yang dilakukan. Oleh orang-orang tua-tua. Makani Golkar semisal iki sih sakti mas. (Tribun Network/Reynas Abdila)