Rapat Terakhir di DPR RI, Nadiem Makarim Titip Merdeka Belajar Lewat Puisi
Secara garis besar, puisi ini berisi pesan Nadiem untuk menteri selanjutnya agar melanjutkan program Merdeka Belajar.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menyampaikan salam perpisahan kepada mitra kerjanya di DPR RI dalam hal ini Komisi X.
Salam perpisahan itu disampaikan Nadiem, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI pada Rabu (11/9/2024) yang akan demisioner dari Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Baca juga: Nadiem Makarim Bungkam soal Kritik Jusuf Kalla yang Sebut Tak Pernah Ngantor
Salam perpisahan dari Nadiem itu tidak biasa diutarakan, pendiri sekaligus pemilik transportasi online Go-Jek itu menyampaikannya melalui puisi.
Secara garis besar, puisi ini berisi pesan Nadiem untuk menteri selanjutnya agar melanjutkan program Merdeka Belajar.
"Bapak dan ibu proses transformasi membutuhkan sabar. Hampir 5 tahun kami sibuk menanam akar baru sekarang bunga perubahan terlihat mekar di tangan anda semua saya titipkan merdeka belajar," demikian salah satu bunyi bait Nadiem saat rapat terakhir dengan Komisi X DPR RI, Rabu.
Baca juga: Sederet Kritik Tajam JK ke Nadiem, Mulai dari Konsep Merdeka Belajar hingga UN
Sebagai informasi, program Merdeka Belajar merupakan salah satu program unggulan yang dibawa oleh Nadiem Makarim dalam jabatannya di Kabinet Indonesia Maju.
Dimana, program Merdeka Belajar ini memberikan kurikulum untuk pelajar SD sampai setara SMA untuk mengembangkan soft skill siswa yang dimiliki.
Berikut adalah puisi lengkap yang dibacakan Nadiem saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI:
Zaman dulu murid merasa berat bangun di pagi hari, memakai seragam sekolah terasa tegang di hati.
Karena anak itu tahu sesaat lagi dia akan masuk ruang kelas yang menakuti.
Zaman dulu setiap kesalahan dikenai hukuman setiap pertanyaan dipermalukan.
Relevansi dari ajaran semakin membingungkan, dari hari ke hari ia semakin ketinggalan.
Bukannya anak loh yang ketakutan, ibu guru pun tak bisa nafas mengejar pembelajaran, materi ajar serasa kereta tanpa batas kecepatan beban birokrasi membuat guru seperti tahanan.