Nasib Manto Kader Banteng Buta Huruf yang Tanda Tangan Kertas Kosong Dibayar Rp 300 Ribu
5 kader banteng diiming-iming Rp 300 ribu asal ikut demo, tanda tangan di kertas kosong bermaterai ujungnya untuk gugat SK Perpanjangan Pengurusan.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Petinggi DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bergejolak setelah lima kadernya menggugat Surat Keputusan (SK) Menkumham Yasonna Laoly tentang perpanjangan kepengurusan DPP PDIP periode 2024-2025 kepemimpinan Megawati Soekarnoputri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dalam gugatannya, lima kader banteng itu menilai SK Menkumham itu melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Kalima orang penggugat itu yakni Djupri, Jairi, Manto. Suwari, dan Sujoko. Sementara pihak tergugat adalah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Pihak DPP PDIP menyebut ada pihak tertentu yang bermain di balik gugatan yang diajukan kelima kadernya itu.
Setelah ramai pemberitaan adanya gugatan tersebut, lima orang penggugat muncul dan menggelar konferensi pers di Cengkareng, Jakarta Barat, pada Rabu (11/9) malam.
Kelima kader itu diwakili Juru Bicaranya Jairi, meminta maaf kepada Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan seluruh anggota PDIP se-Indonesia.
“Saya mewakili teman-teman saya, pertama-tama saya meminta maaf kepada Ketua Umum PDIP Ibu Hajjah Megawati Soekarnoputri, beserta seluruh keluarga besar PDIP seluruh Indonesia,” kata Jairi.
Ia mengaku dirinya dan keempat rekannya tidak merasa mengajukan gugatan SK perpanjangan pengurus DPP PDIP kepemimpinan Megawati Soekarnoputri ke PTUN Jakarta.
Hal itu bisa terjadi lantaran mereka dijebak oleh seorang mengaku bernama Anggiat BM Manalu.
“Pada kesempatan malam ini, saya menyatakan atau mengklarifikasi bahwa kami merasa dijebak dengan adanya surat gugatan yang ditujukan kepada ketua umum kami, kami hanya dimintakan tanda tangan di kertas kosong, setelah itu kami diberikan imbalan Rp300 ribu,” tambah Jairi.
Baca juga: Deddy: Gugatan SK Perpanjangan Kepengurusan Upaya Serang PDIP, Singgung Posisi Gibran di Pilpres
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa ini?
Pada Jumat (13/9) lalu tim Tribunnews mencoba menyambangi kantor DPC PDI Perjuangan Jakarta Barat, di daerah Semanan, Kalideres, Jakarta Barat.
Kantor cabang PDIP itu cukup besar. Bentuknya memanjang dan menjulang seperti bangunan gelanggang olahraga (GOR) yang dilihat secara horizontal dari jalan raya di kawasan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, yang melintas di depannya.
Bangunan gedung menjorok ke bagian tengah lahan sehingga halaman di depan gedung tersebut tampak luas jika difungsikan untuk parkir kendaraan.
Dinding gedungnya dominan warna putih paduan merah dan hitam khas PDI Perjuangan. Mendekat ke pintu utama bangunan yang berjerjak dan berlambang banteng bermoncong putih ukuran sedang.
Di balik sela-sela jerjaknya terlihat ada pintu lain, yang berbahan kaca bening, sehingga memungkinkan untuk melihat ke dalam bagian kantor partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut.
Pagi itu sekitar pukul 09.30 WIB tidak ada aktivitas di markas partai banteng Jakarta Barat tersebut.
Tak ada satu pun orang yang terlihat, hanya ruangan, sekat-sekat antar ruangan, meja dan bangku kerja, serta piranti elektronik seperti komputer di atas meja.
Saat dihubungi, Ketua DPC PDIP Jakarta Barat, Lauw Siegvrieda, mengakui bahwa Djupri, Jairi, Manto, Suwari, dan Sujoko merupakan kader non-pengurus di PDIP.
Mereka berlima memiliki kartu tanda anggota (KTA) PDI Perjuangan.
Wanita yang dipanggil Vrieda itu menjelaskan, lima orang kader PDIP tersebut kerap berkumpul di Tanggul Kali Mookervart, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat.
Tempat tersebut, menurut Vrieda, berada di dekat gedung kantor yang baru disewa oleh Anggiat BM Manalu, tepatnya hanya berbeda nomor rukun warga (RW).
Vrieda tidak membenarkan bahwa Anggiat merupakan kader PDIP. Menurutnya, ada beberapa gambar yang diterimanya memperlihatkan sosok Anggiat mengenakan pakaian berwarna kuning.
Ia melanjutkan, saat kelima kader PDIP tersebut berkumpul di Tanggul, Rawa Buaya, Jakarta Barat, ada seorang warga, bukan kader PDIP, yang mengajak kelima kader partai berlambang banteng itu untuk mengikuti aksi unjuk rasa bertemakan demokrasi dan akan diberi bayaran sebesar Rp300 ribu bagi mereka yang bersedia ikut demo.
"Ada orang, seseorang, mengimbau nih, menyuruhkan, mau enggak tuh ikut demo mengenai demokrasi 'Dikasih uang tuh Rp300 ribu'. Gitu," ungkap Vrieda, kepada Tribunnews.com, Jumat (13/9).
Politisi PDIP itu kemudian mengatakan, kelima kader PDI Perjuangan itu lantas berminat mengikuti aksi unjuk rasa itu dan langsung diantarkan seorang warga ke kantor Anggiat BM Manalu.
Berdasarkan konfirmasi Vrieda kepada kelima kader PDIP itu, diketahui mereka bertemu Anggiat mengenakan pakaian berwarna merah di kantornya.
Selanjutnya, kelimanya menandatangai kertas kosong bermaterai dan langsung menerima uang yang dijanjikan yakni masing-masing Rp300 ribu.
Pertanyaan demi pertanyaan sempat ditanyakan Vrieda kepada kelima kader itu. Katanya, ditemukan bahwa lima orang kader itu menganggap aksi unjuk rasa yang dinarasikan Anggiat itu merupakan kelanjutan dari demo di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Pemikiran itu muncul karena tema yang dinarasikan pihak Anggiat adalah aksi unjuk rasa bertema 'demokrasi'.
"Saya sampaikan ke dia (kelima kader PDIP), kenapa sih kamu bisa ikut? 'Bu, kita pikir kemarin tuh ada demo yang di Senayan. Saya pikir itu mau melakukan lagi. Jadi bahasanya Pak Anggiat itu untuk demokrasi katanya. 'Jadi saya ikut', gitu," jelasnya.
Karena sepakat dengan demokrasi, Jairi,dkk bersedia memberi dukungan. Ketika diberikan kertas putih kosong untuk tanda tangan, mereka bersedia saja. Mereka tak tahu bahwa kertas putih kosong itu belakangan dijadikan sebagai surat kuasa gugatan.
“Betul (kami tidak tahu kertas kosong itu akan digunakan untuk surat kuasa menggugat SKK DPP PDIP periode 2024-2025). Jadi kertas kosong itu kami tandatangani, tidak ada arahan atau penjelasan kepada kami. Cuma kami dimintakan tanda tangan saja,” urai Jairi.
“Alasan yang diberikan pihak mereka kepada kami, yang saya tanyakan, katanya otu untuk dukungan demokrasi. Cuma itu saja yang disampaikan kepada kami. Dalam hal ini yang menyampaikan itu namanya Bapak Anggiat M Manalu,” tambah Jairi.
Baca juga: Aria Bima Nilai Gugatan Terhadap SK Perpanjangan Kepengurusan PDIP Cenderung Politis
Jairi dan keempat rekannya sudah membuat pernyataan pencabutan surat gugatan. Mereka juga akan segera mengajukan pencabutan surat kuasa gugatan tersebut ke pengadilan.
Dalam waktu secepatnya, mereka akan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk melakukannya. Meski demikian, Vrieda memastikan kelima kader itu akan tetap dijatuhi sanksi. Namun, skala sanksi yang diberikan masih akan didiskusikan bersama para pengurus DPC PDIP Jakarta Barat.
Vrieda tidak menjelaskan jenis pelanggaran apa dalam AD/ART PDIP sehingga kelima kader itu layak diberikan sanksi.
"Nanti baru kami rapatkan. Ini kami masih sedang rapatkan. Ya, pasti kena sanksi, pasti. Pasti. Ya, pasti kan ada kesalahan yang memang disengaja maupun tidak disengaja kan pasti kita kenakan sanksi," ucapnya.
Geruduk Kantor Anggiat
Vrieda mengatakan, kelima kader PDIP itu telah mencabut gugatannya di PTUN Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, lanjut Vrieda, pihaknya punya hitung-hitungan sendiri untuk Anggiat BM Manalu.
Pihaknya berencana menggeruduk kantor milik Anggiat untuk menanyakan langsung mengenai latar belakang pengajuan gugatannya yang dibalut manipulasi sekaligus mengungkap siapa pihak yang berada di belakang Anggiat dalam gerakan yang diduga ingin mengganggu PDIP ini.
"Kita mau ke sana, rencana entar siang ke kantornya. Pertama, kita mau cari tahu si Pak Anggiat ini itu motifnya apa sih? Kedua, di belakang kamu itu siapa, gitu lho? Kita lagi mau cari, makanya kita mau buat laporan," tandasnya.
Ia menyayangkan dugaan penjebakan yang dilakukan terhadap kelima kader PDIP itu. Menurut Vrieda, kelima kader PDIP itu berperilaku baik di masyarakat dan seorang di antaranya buta huruf.
"Ada yang itu yang satu lagi tuh namanya siapa tuh, namanya Manto, itu buta huruf, enggak bisa nulis, enggak bisa baca. Pak Manto hanya bisa tulis nama dan tanda tangan," tuturnya.