Ketua DKPP Setuju Usulan BPIP Soal Pembentukan Mahkamah Etika Nasional
Jimly Asshiddiqie setuju atas adanya usul dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terkait pembentukan Mahkamah Etika.
Penulis: willy Widianto
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jimly Asshiddiqie setuju atas adanya usul dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terkait pembentukan Mahkamah Etika.
Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu, momentum saat ini sangat tepat untuk memulai pembentukan Mahkamah Etika Nasional.
Lembaga ini diharapkan bisa menjawab persoalan etika yang melanda berbagai sektor publik di Indonesia.
Ia percaya Mahkamah Etika akan menjadi institusi yang berperan penting dalam menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara.
Baca juga: Kepala BPIP Harap Indonesia Terus Jadi Pelopor Pembangunan Berkelanjutan
"Saya yakin timingnya sudah tepat. Kita buat Undang-Undang tentang etika berbangsa dan Mahkamah Etika Nasional. Undang-undang ini akan mengatur substansi etika dan infrastruktur pendukungnya, tidak hanya menyangkut penyelenggara negara, tetapi juga semua jabatan publik," ujar Jimly, Rabu(18/9/2024).
Jimly menambahkan, pelanggaran etika bukan hanya terjadi di kalangan penyelenggara negara, tetapi juga di berbagai organisasi profesional dan sektor publik lainnya.
"Etika jabatan publik lebih luas dari sekadar etika penyelenggara negara. Ada masalah serius di berbagai sektor, dari polisi hingga partai politik, bahkan di dunia kesehatan dan organisasi profesional," jelas Jimly.
Hakim Agung sekaligus Guru Besar Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Gayus Lumbuun menekankan pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa.
Menurut Gayus, etika muncul ketika hukum tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang terjadi, terutama ketika menghadapi krisis multidimensi seperti yang dialami Indonesia pada 1998.
"Secara etika, sangat mungkin sebuah kebijakan menjadi lebih bijaksana daripada sekadar mengikuti aturan hukum. Namun, apakah kebijaksanaan penyelenggara negara selalu berjalan baik? Ternyata tidak," kata Gayus.
Ia mengutip tulisan Jimly yang menyebutkan bahwa hukum yang diberlakukan sebagai undang-undang memang baik, tetapi jangan sampai hukum digunakan sebagai alat oleh individu atau kelompok untuk menegakkan kekuasaan pribadi.
Baca juga: Revisi UU MK Sarat Kepentingan Politik, Jimly Asshiddiqie Desak Ditunda Hingga DPR Periode Mendatang
Gayus juga menyoroti bagaimana etika sosial, hukum, ekonomi, politik, dan lingkungan harus ditegakkan sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia mengingatkan tentang pentingnya Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 yang memuat rekomendasi tentang penegakan etika dalam berbagai bidang tersebut.
Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin Andi Pangerang Moenta menggarisbawahi pentingnya budaya hukum yang berlandaskan pada etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Andi, budaya hukum di Indonesia masih berada pada tahap "compliance" atau kepatuhan karena takut pada sanksi, sementara idealnya, kepatuhan hukum harus berakar pada internalisasi nilai-nilai etika.
"Kita masih berada di tataran kepatuhan karena takut, perjalanan masih panjang menuju internalisasi. Biar hukumnya bagus dan aparatnya juga bagus, kalau budaya hukum tidak terdukung, itu tidak bisa jalan," jelas Andi.
Ia juga mengingatkan penyebab utama persoalan hukum di Indonesia adalah budaya berpikir yang pragmatis dan materialistis.
Andi mengungkapkan, 6 prinsip hidup orang bugis juga bisa menjadi salah satu cara penegakan etika di Indonesia. Keenam prinsip itu adalah lempu’ (kejujuran), getting (keteguhan), acca (kebijaksanaan), assitinajang (kepantasan), reso (kerja keras), dan siri’ (harga diri).
Hakim Konstitusi 2003-2014, Harjono mengatakan, Pancasila sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia sebenarnya sudah mencakup nilai-nilai etika yang harus diimplementasikan dalam semua sektor kehidupan.
Namun, ia mengingatkan krisis etika yang dialami Indonesia saat ini menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam penerapan nilai-nilai Pancasila.
"Persoalan Pancasila ada dua dimensi: pandangan hidup dan krisis etika. Kita sudah berada dalam krisis etika, dan jika tidak ditangani, generasi mendatang bisa terjebak dalam krisis yang lebih dalam," ungkap Harjono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MK pada 2008.
Ia menegaskan Pancasila harus menjadi falsafah hidup bangsa yang tidak hanya diucapkan, tetapi juga dijalankan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam penyelenggaraan negara.
Sebelumnya, BPIP berkomitmen akan menindaklanjuti pembentukan Mahkamah Etika Nasional dengan pengkajian-pengkajian komprehensif hingga lahir usulan RUU-nya.
Hal tersebut sebagai solusi yang diharapkan bisa sejalan dengan prinsip etika sebuah negara dimana pejabat diharapkan bisa bertindak dengan integritas dan keadilan yang tinggi.
"Dengan latar belakang sejumlah kasus pelanggaran etika yang mencuat, termasuk korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan, hal ini menjadi penting untuk membahas dan mencari solusi praktis terhadap masalah-masalah tersebut," ujar Kepala BPIP, Prof K.H Yudian Wahyudi.