Soal Konflik di Pulau Rempang, Komnas HAM: Intimidasi Terhadap Masyarakat harus Ditindak Tegas
Pembiaran terhadap kekerasan dan intimidasi merupakan bentuk pelanggaran HAM dan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik sosial di Pulau Rempang.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI terus mencermati peningkatan eskalasi konflik antara masyarakat Pulau Rempang yang menolak relokasi sebagai dampak pembangunan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City (PSN Rempang Eco City) dengan kelompok masyarakat tak dikenal baru-baru ini.
Komisioner Mediasi Komnas HAM RI Prabianto Mukti Wibowo mengatakan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi oleh Pemerintah Kota Batam berkembang menjadi konflik sosial berkepanjangan dan mengancam hak hidup masyarakat Pulau Rempang.
Sebagai bentuk pelaksanaan mandat Komnas HAM untuk mewujudkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, ia mengatakan meningkatnya eskalasi konflik masyarakat di Pulau Rempang saat ini harus menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan aparat keamanan.
"Bentuk-bentuk kekerasan dan intimidasi yang dialami oleh Masyarakat Pulau Rempang sebagaimana terpublikasi di berbagai platform media harus mendapatkan penindakan tegas dan profesional oleh aparat kepolisian sebagai bentuk pemenuhan hak atas rasa aman dan hak atas keadilan terhadap Masyarakat Pulau Rempang," kata dia dalam Siaran Pers Komnas HAM RI pada Kamis (19/9/2024).
Komnas HAM, kata dia, juga menegaskan bahwa pembiaran terhadap bentuk-bentuk kekerasan dan intimidasi merupakan bentuk pelanggaran HAM dan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik sosial di Pulau Rempang.
Selain itu, lanjut dia, Komnas HAM juga mengingatkan para pihak untuk tidak menggunakan kekerasan, intimidasi dan kekuatan berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi masyarakat dan proses pembangunan PSN Rempang Eco City untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM.
"Komnas HAM juga menegaskan bahwa pembangunan, terutama Proyek Strategis Nasional, seharusnya bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata dia.
"Bukan untuk menyengsarakan dan menghilangkan identitas sosial budaya masyarakat," lanjut dia.
Baca juga: Kasus Rempang: Komnas HAM Sebut Upayakan Mediasi Meski Pemerintah Belum Mau
Pemerintah, kata dia, baik pusat maupun daerah bertanggung jawab penuh untuk menyediakan segala kebutuhan serta kelengkapan sarana dan prasarana yang layak dan memadai bagi kehidupan sosial budaya masyarakat di tempat relokasi yang dijanjikan.
Komitmen Pemerintah untuk memberikan jaminan hidup kepada masyarakat terdampak relokasi, kata dia, harus menjadi prioritas dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Komnas HAM, lanjut dia, juga mengingatkan bahwa bentuk-bentuk pemaksaan relokasi masyarakat merupakan bentuk penggusuran paksa yang berpotensi menjadi bentuk pelanggaran HAM berat.
"Komnas HAM mendorong semua pihak, baik tingkat daerah hingga tingkat pusat, untuk mengedepankan dialog inklusif yang konstruktif dan pendekatan yang humanis melalui mediasi HAM dalam penyelesaian konflik masyarakat di Pulau Rempang," kata dia.
"Kebijakan dan tindakan yang diambil harus mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan pilihan yang terbaik untuk kenyamanan dan kemajuan kehidupan masyarakat," sambung dia.
Diintimidasi dan Alami Kekerasan
Diberitakan sebelumnya masyarakat Pulau Rempang dilaporkan mengalami intimidasi dan menjadi korban tindak kekerasan oleh belasan orang berpakaian preman pada Rabu (18/9/2024) dalam siaran pers Tim Advokasi Solidaritas Nasional Untuk Rempang.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari warga, intimidasi dan kekerasan yang dialami warga Pulau Rempang terjadi di wilayah administrasi Kampung Sungai Bulu, tepatnya di jalan arah masuk ke kawasan Goba sekira pukul 10.45 WIB.
Tiga orang warga dilaporkan mengalami luka dan belasan lainnya dilaporkan menjadi korban pemukulan.
Dilaporkan, kejadian tersebut bermula saat warga tengah berjaga di masjid di jalan masuk ke Goba dan didatangi oleh belasan orang berpakaian preman.
Selain itu, dalam rombongan tersebut dilaporkan ada juga anggota polisi yang berseragam.
Kepada warga, sekelompok orang berpakaiam preman itu menyampaikan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kerja mereka.
Namun demikian warga yang tetap bertahan dan berjaga akhirnya mengalami intimidasi dan tindak kekerasan dari kelompok tersebut.
"Tindakan belasan orang berpakaian preman didampingi anggota kepolisian yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat Pulau Rempang ini masih terus terjadi," kata Siaran Pers yang terkonfirmasi Rabu (18/9/2024).
"Sebelumnya warga juga mengalami teror dan alat peraga meraka yang menolak PSN Rempang Eco City dirusak. Dan kami menduga sebagian dari belasan orang berpakaian preman tersebut adalah anggota TNI," sambung siaran pers tersebut.
Untuk itu, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang meminta agar cara-cara intimidasi atau kekerasan pada masyarakat dihentikan.
Mereka juga meminta agar pembangunan PSN Rempang Eco City dihentikan.
"Ketiga, meminta pada kepolisian untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagaimana tugas pokok dan fungsinya," sambung keterangan tersebut.
Temuan Komnas HAM Tahun 2023
Komnas HAM juga pernah menyampaikan sejumlah temuan awal dari proses pemantauan dan penyelidikan terkait konflik di Pulau Rempang pada sekitar September 2023.
Terhadap temuan tersebut, Komnas HAM RI menyampaikan sejumlah posisi dan sikap.
Komisioner Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing, saat itu mengatakan satu di antaranya adalah meminta Menteri Koordinator bidang Perekonomian meninjau kembali proyek pengembangan kawasan Pulau Rempang Eco City.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Jumat (22/9/2023).
"Meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN (Proyek Strategis Nasional) berdasarkan Permenko RI Nomor 7 tahun 2023," kata Uli.
Kedua, kata Uli, Komnas HAM merekomendasikan Menteri ATR BPN untuk tidak menerbitkan HPL (hak pengelolaan atas tanah) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi tersebur belum clear and clean.
Ketiga, lanjut Uli, Komnas HAM RI menyampaikan bahwa penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) jo. Komentar Umum Nomor 7 tentang KIHESB.
Dalam aturan tersebut, kata Uli, pertama menyatakan kebijakan penggusuran paksa hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah mempertimbangkan upaya-upaya lain.
Kedua, lanjut dia, apabila terpaksa melakukan penggusuran paksa, pemerintah dan/atau korporasi wajib melakukan asesmen dampak penggusuran paksa dan kebijakan pemulihan kepada warga yang terdampak.
Ketiga, kata Uli, pemerintah dan/atau korporasi wajib memberikan kompensasi dan pemulihan yang layak kepada warga terdampak sesuai prinsip-prinsip HAM.
Keempat, proses penggusuran harus sesuai standar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Ia juga menjelaskan ada tiga instrumen yang harus diperhatikan ketika melakukan penggusuran yaitu musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan.
Selain itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika proses penggusuran dilakukan yaitu perlindungan prosedural, tanpa intimidasi dan kekerasan, serta mengerahkan aparat secara proporsional.
"(Sikap) Keempat, pemerintah harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan PSN," kata Uli.
Kelima, kata dia, Negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak, baik melalui tindakan maupun kebijakan yang diambil, baik tingkat lokal maupun nasional terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi.
Kebijakan Negara, lanjut dia, tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional.
Negara, lanjut dia, tidak boleh melakukan relokasi paksa (forced evictions) yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.
"(Sikap) Keenam, (pemerintah) tidak boleh menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih (excessive use of power) dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City," kata dia.
Ketujuh, lanjut dia, Kepolisian agar mempertimbangkan menggunakan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang.
"Kedelapan, kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan dan lainnya di Pulau Rempang," sambung dia.