Jimly Asshiddiqie: Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Harus Direformasi di Pemerintahan Prabowo
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai kekuasaan kehakiman di Indonesia harus dievaluasi dan ditata ulang.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai kekuasaan kehakiman di Indonesia harus dievaluasi dan ditata ulang.
“Jadi dunia kekuasaan kehakiman kita sekarang harus direformasi,” kata Jimly kepada wartawan di Jimly School of Law and Government, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024).
Ia berharap hal itu bisa dilakukan di masa pemerintahan mendatang oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Usul Jimly itu tidak lepas dari kaitannya dengan hak kesejahteraan yang saat ini tengah digaungkan dan jadi tuntutan para hakim se-Indonesia.
“Mudah-mudahan pemerintah yang akan datang itu bisa memberi perhatian. Pentingnya untuk soal kesejahteraan. Dan saya juga sudah pernah mendengar salah satu kampanyenya Pak Prabowo itu menjanjikan mau menaikkan kesejahteraan hakim,” ujarnya.
“Tapi harapannya bukan hanya urusan kesejahteraan. Yang harus kita lihat adalah ini masalah yang lebih menyeluruh, soal reformasi kekuasaan kehakiman,” ia menambahkan.
Kesejahteraan hakim memang hal penting tapi menurutnya penataan sistem kekuasaan kehakiman secara lebih menyeluruh harus lebih diutamakan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga menjelaskan banyak lembaga peradilan yang tidak hingga saat ini profesi hakimnya disebutkan dalam undang-undang seperti Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Informasi Pusat.
Padahal menurutnya lembaga itu juga punya tugas dalam hal mengadili.
“Ini lembaga mengadili sekali. Bisa memenjarakan pejabat setahun, dua tahun, sampai tiga tahun. Nanti bandingnya pengadilan negeri. Dia mengadili benar-benar dan mengadili pidana. Tapi di undang-undang tidak disebut hakim. Maka tidak ada yang memperlakukannya sebagai hakim,” ungkapmya.
Lembaga-lembaga itu, tidak dibina oleh Mahkamah Agung. Pun tidak ada kementerian yang bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap, seperti kata Jimly, “hakim-hakim peradilan semu’ itu.
Lebih lanjut, lembaga penyidik juga harus jadi perhatian jika harus dilakukan evaluasi terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Terdapat puluhan instansi penyidik saat ini, tapi yang dikenal publik hanya polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Terkait tanggung jawab dan pembinaan atas lembaga-lembaga itu, Jimly berharap dapat jadi sorotan dalam hal evaluasi.
“Banyak orang tidak tahu bahwa lembaga penyidik di Indonesia itu banyak sekali, 56 instansi. Yang terkenal cuma tiga, polisi, kejaksaan, dan KPK. Tapi ada PPNS jumlahnya 52, sekarang tambah satu lagi, OJK. Di undang-undang baru diberi fungsi penyidikan,” ungkapnya.
“Nah koordinasinya bagaimana? Enggak ada yang tanggung jawab. Pembinaannya bagaimana? Engak ada yang tanggung jawab. Apakah ini mau dipusatkan di kepolisian atau di kejaksaan? Ini undang-undang belum jelas mengaturnya dan mirisnya adalah pembinaannya nggak ada yang tanggung jawab,” pungkas Jimly.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.