Alasan Thomas Lembong Jadi Tersangka Korupsi Impor Gula, Kini Ditahan di Rutan Salemba
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan dua tersangka dalam kasus kasus dugaan korupsi impor gula, termasuk Mantan Mendag Thomas Lembong.
Penulis: Suci Bangun Dwi Setyaningsih
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula.
Sosok dua tersangka tersebut, adalah Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong (TTL) dan CS sebagai Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menyebut Thomas Lembong telah memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah 105.000 ton kepada P.T AP.
Impor tersebut, dilakukan ketika Indonesia surplus gula.
Di sisi lain, impor gula harusnya dilakukan BUMN, namun Tom Lembong mengizinkan P.T AP melakukan impor.
Berdasarkan hasil penyidikan, kerugian negara akibat perbuatan Tom Lembong dan CS adalah Rp400 miliar.
Kini, setelah mendapatkan alat bukti yang cukup, Tom Lembong dan CS pun ditetapkan sebagai tersangka.
"Penyidik menetapkan status saksi terhadap dua orang menjadi tersangka, karena memenuhi alat bukti bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, adapun kedua tersangka adalah satu, TTL selaku Menteri Perdagangan periode 2015-2016."
"Kedua, tersangka atas nama CS, selaku Direktur Pengembangan Bisnis pada PT PPI Periode 2015/2016," jelas Abdul Qohar dalam konferensi pers pada Selasa (29/10/2024) malam.
Selanjutnya, Mendag periode 2015-2016 Tom Lembong ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari ke depan untuk dugaan korupsi impor gula.
Sementara, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan.
Baca juga: Fakta-Fakta Tom Lembong Jadi Tersangka Kasus Impor Gula
Diketahui, dalam kasus ini, Kejagung menduga terjadi penyalahgunaan wewenang di Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang dilakukan dalam rangka pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula nasional.
Abdul Qohar menjelaskan, pada tahun 2015, berdasarkan rapat koordinasi (rakor) antar kementerian disimpulkan Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak diperlukan impor gula.
Oleh Kemendag, PT AP diberikan izin mengimpor 105.000 ton gula kristal mentah yang diolah menjadi gula kristal putih.
"Menteri Perdagangan yaitu saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP, yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," ungkapnya.
Adapun sesuai keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2014, yang diperbolehkan melakukan impor gula kristal putih adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, Tom Lembong disebut memberikan persetujuan ke perusahaan swasta, yang melakukan impor.
"Dan impor gula kristal tersebut tidak melalui rapat koordinasi atau rakor dengan instansi terkait, serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri," terang Abdul Qohar.
Pada 28 Desember 2015 dilakukan rakor di bidang perekonomian yang dihadiri oleh jajaran di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Salah satu pembahasannya bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton.
Pada bulan November sampai Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) memerintahkan staf senior manajer bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
"Padahal, dalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga seharusnya diimpor adalah gula impor putih secara langsung dan yang boleh melakukan impor tersebut hanya BUMN," lanjut Abdul Qohar.
Baca juga: Peran Tom Lembong di Kasus Korupsi Impor Gula: Terbitkan Izin Impor padahal RI Surplus Gula
Abdul Qohar mengatakan, izin industri kedelapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, sebenarnya izin perindustriannya adalah gula kristal rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan, minuman dan farmasi.
"Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, selanjutnya PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut."
"Padahal kenyataannya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran atau masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengannya, dengan harga Rp26 ribu per kilogram, lebih tinggi dari HET (Harga Eceran Tertinggi) saat itu Rp13 ribu per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar," tutur Abdul Qohar.
PT PPI pun diduga mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah gula.
"Dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih PT PPI dapat fee dari delapan perusahan yang impor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," kata Qohar.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Ilham Rian Pratama, Hasanudin Aco)