Eks Komisioner KPK : Eksaminasi Tidak Bisa Hanya Asumsi
Pernyataan akademisi dan aktivis yang mendukung PK tersebut boleh saja dilakukan, tetapi perkara PK harus diputuskan dengan adanya bukti baru
Penulis: Erik S
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Erik Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menilai Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi Mardani Maming harus didukung minimal dua alat bukti baru, bukan sekedar eksaminasi.
Menurut dia, eksaminasi atau pernyataan dari sejumlah akademisi dan aktivis yang mendukung PK tersebut boleh saja dilakukan, tetapi perkara PK harus diputuskan dengan adanya bukti baru.
"Pernyataan (eksaminasi) harus didukung minimal dua alat bukti baru. Tidak bisa hanya asumsi atau pemikiran saja," kata Haryono, Rabu (30/10/2024).
Haryono mengingatkan seluruh pihak agar menghormati keputusan hakim, baik di tingkat pengadilan pertama hingga kasasi, terkait perkara korupsi yang menyeret mantan Bendahara Umum (Bendum) PBNU itu.
Mardani H Maming mengajukan banding dan kasasi. Pada 10 Februari 2023, majelis hakim Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin, Kalsel yang dipimpin Heru Kuntjoro, memvonisnya bersalah dan mengganjarnya 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta.
Baca juga: Setelah Unpad, Akademisi Anti-Korupsi UII Minta Mardani Maming Dibebaskan
Selain itu, Mardani diwajibkan membayar uang pengganti Rp110.601.731.752 (Rp110,6 miliar).
Tak terima dengan putusan itu, Mardani H Maming dan jaksa KPK sama-sama mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Kali ini, jaksa KPK yang menang. Hukuman Mardani diperberat menjadi 12 tahun. Tak terima lagi, Mardani H Maming mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun ditolak.
Akademisi UGM Nilai Adanya Presumption of Corruption dalam Sistem Peradilan RI
Beberapa guru besar hukum dan akademisi hukum mulai dari kampus ternama seperti, Universitas Padjadjaran serta universitas Islam Indonesia sudah menyatakan ada kekeliruan dalam putusan tersebut.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Hendry Julian Noor, dan Tim Hukum UGM berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) tak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Salah satu poin penting yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ia berpendapat bahwa tindakan Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (26/10/2024).
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya," katanya.