Greenpeace Sebut Restorasi Lahan Gambut dalam 10 Tahun Terakhir Tidak Memuaskan
Restorasi lahan gambut yang berjalan selama sepuluh tahun terakhir tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Editor: Dodi Esvandi
Abil Salsabila juga menyoroti kerusakan fatal infrastruktur sekat kanal di kawasan-kawasan restorasi gambut.
Harusnya, infrastruktur ini menjadi sarana utama untuk memulihkan lahan gambut.
Namun, kondisinya saat ini malah menyulitkan dan menghambat upaya tersebut. Terakhir, ia juga menyampaikan pentingnya keterbukaan data.
Baca juga: Wamen LHK Jelaskan Urgensi Restorasi Ekosistem Gambut di COP28
“Salah satu tantangan utama restorasi lahan gambut adalah keterbatasan data. Pemutihan lahan sawit oleh pemerintah semakin menunjukkan minimnya akses data dan informasi oleh publik. Untuk mewujudkan pemulihan yang utuh, ketersediaan data dan keterbukaan informasi adalah pondasi utama,” ucapnya.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang diwakilkan oleh Agus Yasin, Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi, mengatakan bahwa BRGM telah berupaya semaksimal mungkin selama 10 tahun terakhir.
Namun, memang masih ada banyak hal yang harus dikerjakan ke depan, khususnya restorasi lahan gambut.
“Kami berharap kerja-kerja restorasi gambut akan terus mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk media dan Lembaga swadaya masyarakat. Tujuannya, agar program restorasi ini bisa terus berlanjut,” ucap Agus Yasin.
Pemanfaatan lahan gambut telah berjalan sejak era Soeharto, saat akan dimulainya proyek Pengembangan Lahan Gambut sekitar tahun 1994 silam.
Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menambah lahan pertanian di luar Jawa, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan mencapai swasembada pangan.
Baca juga: Ini Capaian Katingan Mentaya Project di Restorasi 157.000 Ha Lahan Gambut untuk 17 SDG Indonesia
Proyek PLG tersebut akhirnya bertransformasi menjadi proyek lumbung pangan atau food estate saat ini.
Era Joko Widodo, proyek food estate menjadi agenda prioritas pembangunan nasional.
Namun, banyak kegagalan yang terjadi di lokasi-lokasi tersebut.
Yuliana, Dosen Sosiologi Universitas Palangka Raya (UPR) mengungkap betapa dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan akibat food estate.
Ia melakukan penelitian di Desa Anjir Sarapat Baru, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang terdampak proyek food estate.
“Hasil panen pertama mengecewakan, karena tanaman padi tidak menghasilkan bulir beras sama sekali. Setelah dicoba lagi, hasilnya tetap gagal. Kegagalan panen ini menyebabkan dampak sosial ekonomi yang besar. Sebanyak 60 persen petani di desa akhirnya menjadi konsumen beras, padahal sebelumnya cukup berladang untuk mendapatkan beras. Mereka kehilangan sumber pangan utama,” ungkap Yuliana.