Kejagung Belum Tahu Jumlah Pasti Kerugian Negara di Kasus Tom Lembong, Gandeng Ahli untuk Menghitung
Kejaksaan Agung (Kejagung) masih belum tahu jumlah pasti kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret Tom Lembong.
Penulis: Rifqah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Hingga saat ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menyelidiki kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan (Mendag) periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Untuk mengetahui total kerugian negara dalam kasus tersebut, Kejagung sampai melibatkan ahli untuk menghitung jumlah pastinya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Harli Siregar menyatakan, sementara ini, angka kerugian negara sebesar Rp400 miliar.
Jumlah tersebut nantinya masih akan dihitung lebih lanjut agar mendapat angka pasti.
“Kita akan menggandeng ahli untuk memastikan berapa kerugian negara. Saat ini perhitungan masih berlangsung,” ujar Harli di Kejagung Jakarta, Kamis (31/10/2023), dilansir Kompas.com.
Estimasi kerugian negara itu, sementara dihitung berdasarkan selisih harga jual gula pasir, yaitu Rp16.00 per kilogram, dibandingkan dengan harga acuan tertinggi sebesar Rp13.000.
Selisih tersebut, dikalikan dengan kuota impor gula yang diberikan.
Kemudian menghasilkan nilai dugaan kerugian sebesar Rp400 miliar.
Harli mengatakan, impor seharusnya tidak diperlukan jika ada surplus gula dalam negeri.
Namun, izin impor tersebut tetap dilakukan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Mendag kala itu, tanpa mempertimbangkan stok yang ada.
Menurut Kejagung, hal tersebut menyalahi prosedur.
Baca juga: 2 Alasan Pakar Anggap Kejagung Keliru Tetapkan Tom Lembong Jadi Tersangka, Sebut Ada Kriminalisasi
“Kalaupun harus diimpor, seharusnya ada persetujuan dari lembaga terkait, tetapi yang bersangkutan langsung memberikan izin,” tambahnya.
Kejagung Buka Peluang Ada Tersangka Baru
Kejagung membuka peluang menetapkan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi impor gula tersebut.
"Apakah akan dimungkinkan adanya tersangka baru dalam perkara ini? Itu sangat tergantung dengan apakah ada bukti permulaan yang cukup, setidaknya diperoleh dari 2 alat bukti untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak," kata Harli kepada wartawan di Kejagung, Jakarta, Rabu (30/10/2024).