Institute for Humanitarian Islam Diluncurkan, Jawaban Isu Keberagaman dan Tantangan Kemanusiaan
Menjawab tantangan keberagaman, sebuah lembaga bernama Institute for Humanitarian Islam didirikan.
Editor: Anita K Wardhani
"Komitmen kami terhadap keunggulan dan inklusivitas akan menjadi panduan dalam setiap langkah yang kami ambil," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor ini.
"Kami sangat menantikan partisipasi Anda saat kita berupaya memberikan dampak positif di dunia ini. Mari kita jalani misi ini bersama-sama, dengan harapan dan tekad," ucap Gus Yaqut.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjelaskan, wacana Humanitarian Islam pertama kali diperkenalkan pada 2017 lalu dalam konferensi yang digelar di Ponpes Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
"Kami waktu itu menghadirkan narasumber dari berbagai negara yang kemudian melahirkan deklarasi Gerakan Pemuda Ansor tentang Islam untuk kemanusiaan," kata Gus Yahya.
Kakak kandung Gus Yaqut ini menuturkan, ada banyak keragaman di Indonesia ini, namun uniknya satu peradaban yang bersatu dan harmonis mampu terbangun di tengah-tengah perbedaan dan luar biasa.
"Sehingga saya kira di Indonesia sangat pantas mengklaim bahwa unity of diversity sungguh-sungguh telah terwujud di dalam kehidupan berkuasa masyarakat," jelas Gus Yahya.
Gus Yahya yakin keberhasilan Indonesia ini cukup berharga untuk disumbangkan ke tengah-tengah masyarakat internasional dengan harapan bisa menjadi inspirasi untuk menemukan jalan keluar dari berbagai macam masalah internasional yang berkaitan dengan konflik.
"Mudah-mudahan nanti ini akan mewujudkan peradaban global yang sungguh-sungguh adil dan harmonis," kata Gus Yahya.
Menag Nasaruddin mengingatkan jika perbedaan itu harus dianggap sebagai lukisan Tuhan yang tidak bisa diubah. Siapa yang mencoba untuk mengubah lukisan Tuhan, menurutnya sama saja dengan melakukan kerusakan di muka bumi.
“Karena itu agama-agama apapun, saya kira, kita harus melakukan penafsiran ulang, manakala ada sebuah penafsiran yang melahirkan penindasan, yang melahirkan diskriminasi dan melahirkan ketimpangan di dalam kemanusiaan,” ucapnya.
Oleh karenanya, Menag menilai bahwa kemanusiaan hanya satu, tidak memiliki latar belakang, baik agama, maupun etnis. Hal tersebut menurutnya tercantum dalam setiap kitab suci semua agama. orang yang beragama tentu mengedepankan kemanusiaan.
“Jelas di dalam agama Islam. Saya kira juga kita bisa temukan banyak ayatnya dalam kitab-kitab suci yang lain bahwa Humanity is only one, theres no colors” ucap Menag.
Menag menjelaskan, ada tiga unsur penting dalam beragama, yaitu Mitos atau kepercayaan, yang kemudian diartikulasikan menjadi Logos atau keilmuan, dan selanjutnya diterapkan dalam bentuk Ethos.
“Tidak sempurna keberagaman kita kalau hanya berhenti di sektor mitos, hanya sampai percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi tidak ada implementasinya dalam bentuk logos, dan sampai di logos pun juga tidak sempurna kita sebagai umat beragama kalau tidak memunculkan dalam bentuk ethos,” ucapnya.