VIDEO EKSKLUSIF Gugatan Dikabulkan MK, Said Iqbal: Selama Ini UU Cipta Kerja Rampas Hak-hak Buruh
Said Iqbal mengatakan ini adalah kemenangan rakyat yang diwakili oleh Partai Buruh.
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Partai Buruh Said Iqbal menganggap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (CK), yang telah diputuskan pada 31 Oktober 2024, sebagai kemenangan rakyat.
Said Iqbal mengatakan ini adalah kemenangan rakyat yang diwakili oleh Partai Buruh.
Pasalnya Presiden Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ini mengatakan Omnibus Law (UU Cipta Kerja) adalah momok yang menakutkan buat buruh.
"Karena pemerintah secara sepihak melakukan perlindungan pada pemilik modal dan mengabaikan hak-hak buruh, di-down-grade, dihancurkan, bahkan dalam bahasa kami nol."
"Selain melakukan penolakan dalam bentuk aksi-aksi dari mulai 2020 sampai hari ini sampai kemarin keputusan, kami juga melakukan judicial review pendekatan secara hukum tiga kali," tutur Said dalam Wawancara Eksklusif Tribunnews.com, Kamis (31/10/2024).
Partai Buruh melakukan judicial review tahun 2020, lalu sekitar 2023 dan yang terakhir 2024, dimana dua kali uji formil satu kali uji materil.
Dalam uji materil itu, Partai Buruh menginginkan kehadiran negara mengembalikan perlindungan kepada buruh apapun status hubungan kerjanya wajib dilindungi.
"Kita bedah untuk tahap awal dulu, sebenarnya banyak down-grade semua, diturunkan kesejahteraan dirampas hak-hak buruh," ujar Said Iqbal.
MK akhirnya mengabulkan sebagian pasal yang dituntut oleh para buruh, dari 71 pasal yang di para buruh, 21 pasal yang dikabulkan.
"Tapi 21 pasal itu melingkupi tujuh isu tadi, istilahnya dagingnya di situ semua, kakapnya di situ, yang sisa-sisanya itu kembang-kembang doang, cuma pemanis-pemanislah," katanya.
Said menambahkan, memang 30 persen dari jumlah pasal yang dikabulkan digugurkan, tetapi kalau dari isi 90 persen yang diinginkan buruh banyak dikabulkan.
"Memang kalau kita baca daripada Keputusan MK, kalau orang awam ya pasal ini dicabut, pasal ini ayat ini dicabut, dinyatakan inkonstitusional dan seterusnya."
"Kita harus lihat juga selain keputusan tentang pasal yang dicabut atau tidak berlaku lagi atau inkonstitusional tersebut, lihat pertimbangan. Jadi pasal ini dicabut kenapa alasannya apa," jelasnya.
Ambil contoh soal upah. Upah pada Omnibus Law ditentukan sepihak oleh pemerintah pusat, padahal tiap daerah kemampuannya beda-beda.
Kemudian dewan pengupahan tidak difungsikan lagi, baik di kabupaten kota maupun provinsi. Berlanjut kenaikan upah selalu di bawah Inflasi, artinya tombok.
"Itu yang menjelaskan kenapa terjadi deflasi atau daya beli yang turun. Bahkan dalam 5 tahun, 3 tahun pertama itu enggak naik, upah nol persen. Kalau kita krisis mungkin kita bisa pahami, tapi ini kan ekonomi tumbuh di antara rata-rata 5 persen, kemudian inflasi di antara 2-3 persen ke atas. Jadi aneh kalau upah itu enggak naik dan bahkan kalaupun naik di bawah inflasi," ungkap Said Iqbal.
PHK Tidak Lagi Bisa Dilakukan Hanya Melalui Pesan WA dan Sepihak
Said Iqbal menyarankan Presiden Prabowo Subianto segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menyusul Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materil terkait klaster ketenagakerjaan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Kamis (31/10/2024).
Hal itu disampaikan Said Iqbal saat wawancara eksklusif via Zoom dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domu D Ambarita, Jumat (1/11/2024).
Isi Perppu tersebut, kata Said Iqbal, harus mencakup semua putusan MK.
"Kalau Bapak Presiden Prabowo berkenan kami minta dikeluarkan Perppu lebih cepat ya."
"Isinya satu, semua keputusan MK masuk, cabut kluster Ketenagaan-kerjaan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, dan semua turunan Undang-Undang Cipta Kerja dicabut," ujar Said Iqbal.
Dia juga berharap DPR dan pemerintah segera membentuk UU Ketenagaan-kerjaan yang baru.
MK memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk UU membuat UU Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi yang ada di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 6/2023, dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.
"Perintahnya Mahkamah juga kan dalam waktu paling lama 2 tahun maka dia harus membuat UU baru, disuruh dikeluarkan dari Omnibus Law, kluster Ketenagakerjaan. Dengan demikian, kita tunggu DPR dan pemerintah untuk membuat UU," jelasnya.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan organisasi-organisasi buruh.
Baca juga: Serikat Buruh Jelaskan soal Hitungan Pengupahan Pasca Keputusan MK, Seperti Apa?
Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian oleh MK atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Sebanyak 21 norma tersebut berkaitan dengan tujuh isu besar, yaitu mengenai tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, tenaga alih daya atau outsourcing, upah dan minimum upah, cuti, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta uang pesangon, uang penggantian hak upah, dan uang penghargaan masa kerja.
Dalam Omnibus Law, PHK Orang Cukup dengan Pesan WA
Presiden Buruh turut menggarisbawahi putusan MK terkait PHK.
Said Iqbal menyoroti praktek pemberlakuan Omnibus Law yang membuat para pemilik modal sangat sesukahatinya mem-PHK karyawan.
"Dalam Omnibuslaw PHK itu jadi dipermudah, orang gampang di-PHK, bayangin ya orang di-PHK cukup dengan WA. Ini negara dimana?"
"Orang lagi enak-enak kerja dikirim pesan WA suruh pulang PHK. Enak bener, gawat. Ini negara neoliberalisme yang oleh Pak Prabowo tidak inginkan," ujarnya.
Pesangon kecil bagi pekerja atau buruh yang di-PHK pun menurutnya sangat tidak adil. Praktek PHK sewenang-wenang dan pesangon kecil menjadi praktek yang dialami para pekerja atau buruh selama ini.
"Nah kemudian pesangonnya kecil. Itu sudah menjelaskan kenapa sekarang orang perusahaan itu lebih senang PHK kemudian pesangon kecil dan diganti outsourcing. Karena outsourcing kan bebas dalam Omnibuslaw," jelasnya.
Oleh sebab itu, kata dia, MK menyatakan hal itu tidak boleh terjadi dan para pekerja atau buruh harus dilindungi seturut UUD bahwa setiap warga negara berhak mendapat penghidupan dan pendapatan yang layak.
"Maka PHK itu oleh Mahkamah dikembalikan pada mekanisme yang lama harus dipersulit, ada tanda petik ya dipersulit melalui mekanisme," ucapnya.
Oleh MK, kata dia, perusahaan tidak lagi bisa sewenang-wenang mem-PHK pekerja atau buruhnya. Harus ada mekanisme, tidak bisa lagi hanya melalui pesan WA dan sebagainya.
"Kalau kamu mau PHK, kamu harus kasih dulu surat tertulis, dipanggil itu buruh, maka dilakukanlah perundingan bipartit. Kalau ada serikat buruh, didampingi oleh serikat buruh."
"Kalau nggak selesai pergi ke Disnarker, mediasi, nggak selesai juga barulah dilayangkan surat ke The Labor Court atau PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)."
"Jadi panjang nggak seenak-enaknya cukup pakai WA 'jangan datang lagi', security melarang, gerbang ditutup, dikasih pengumuman. Itu nggak bisa, kata Mahkamah nggak boleh, itu melanggar Undang-Undang Dasar. Kalau itu terjadi, berarti melanggar konstitusi, bisa kita penjarakan," tegasnya.