Jenderal Polisi Purn. Drs. Hoegeng Iman Santoso
Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah polisi Indonesia yang dikenal dengan kejujurannya, berikut adalah profil lengkapnya
Penulis: Ika Wahyuningsih
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Jenderal Polisi Purn. Drs. Hoegeng Iman Santoso lebih dikenal dengan nama Jenderal Hoegeng.
Hoegeng Iman Santoso adalah polisi Indonesia yang dikenal dengan kejujurannya.
Yang paling terkenal yaitu celoteh 'receh' Gusdur yang berkata di Indonesia ini hanya ada 3 Polisi yang jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
Selama masa kepemimpinannya, Jenderal Hoegeng dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai sosok polisi yang jujur, berani, dan bertanggungjawab.
Jenderal Hoegeng Iman Santoso menjabat sebagai Kepala Kepolisian RI di masa pemerintah Presiden Soeharto.
Kala itu, Hoegeng Iman Santoso mengemban misi menegakkan kejujuran dalam memberantas berbagai kasus seperti kasus suap dan korupsi.
Jenderal Hoegeng tidak segan untuk menindak kasus tersebut dan tak pandang bulu.
Sampai saat ini, kelahiran Jenderal Hoegeng diperingati oleh bangsa Indonesia untuk menghormati segala jasa beliau dalam menegakkan kebenaran.
Jenderal Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921 silam.
Dilansir Kompas.com, nama asli Hoegeng adalah Imam Santoso.
Nama tersebut adalah nama pemberian sang ayah.
Baca juga: Jenderal Pol Purn Budi Gunawan
Saat kecil Jenderal Hoegeng sering dipanggil dengan nama Buge yang berarti gemuk.
Akan tetapi nama tersebut kemudian menjadi Bugeng hingga kemudian berubah menjadi Hugeng.
Jenderal Hoegeng wafat pada usia 82 tahun di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004 silam.
Hoegeng meninggal dikarenakan penyakit stroke yang dideritanya.
Jenderal Hoegeng dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dikutip dari Kompas TV, Jenderal Hoegeng sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Namun, kepada Majalah Forum tahun 1993, Hoegeng yang kala itu sudah tergabung dalam Petisi 50, menolaknya.
Baca juga: Profil Drajad Djumantara Suami Artis Febby Rastanty, Polisi Berpangkat Iptu, Lulusan Akpol 2017
Pendidikan
Hoegeng menempuh pendidikan di HIS dan MULO Pekalongan, kemudian belajar di AMS A Yogyakarta.
Ia juga melanjutkan pendidikan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia.
Selanjutnya Ia masuk ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Usai lulus dari PTIK tahun 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur dan ditugaskan sebagai Kepala Reskrim di Sumatera Utara.
Ketika awal menjabat ia mendapat banyak sambutan unik, seperti rumah pribadi dan mobil yang telah disediakan oleh beberapa cukong judi.
Namun, Hoegeng menolak hadiah itu dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas.
Usai mendapat rumah dinas, rumah tersebut dipenuhi dengan berbagai perabot pemberian tukang suap yang kemudian dikeluarkannya secara paksa dari dalam rumah dan diletakkan di pinggir jalan.
Sikapnya ini banyak menarik perhatian dan membuat gempar Kota Medan.
Tahun 2001, Gaji Rp 7.500
Ternyata masa menyenangkan itu tidak berlaku bagi Hoegeng yang anti disogok.
Dilansir dari Tribun Timur, pria yang pernah dinobatkan sebagai The Man of the Year 1970 ini pensiun tanpa memiliki rumah, kendaraan, maupun barang mewah.
Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Kepolisian.
Beberapa kapolda patungan membeli mobil Kingswood, yang kemudian menjadi satu-satunya mobil yang ia miliki.
Pengabdian yang penuh dari Pak Hoegeng tentu membawa konsekuensi bagi hidupnya sehari-hari.
Pernah dituturkannya sekali waktu, setelah berhenti dari Kepala Polri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang masih dapat dimakan oleh keluarga karena di rumah sudah kehabisan beras.
Hoegeng memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran.
Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri.
Aditya, salah seorang putra Hoegeng bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu.
Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun.
Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng.
Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis.
Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga.
Perlu ketahui, pensiunan Hoegeng sampai tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500.
Dalam acara Kick Andy, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang perubahan gaji ayahnya pada tahun 2001, yang menyatakan perubahan gaji pensiunan seorang Jendral Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000.
Pada 14 Juli 2004, Hoegeng meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia yang ke 83 tahun.
Ia meninggal karena penyakit stroke dan jantung yang dideritanya.
Baca juga: Polisi Segera Tindak Fenny Frans dan Mira Hayati atas Skincare Berbahaya
Kasus Sum Kuning
Salah satu kasus lain yang cukup terkenal di masa Hoegeng menjabat Kapolri adalah mengenai kasus pemerkosaan Sum Kuning.
Kasus pemerkosaan Sum Kuning, merupakan kasus yang terjadi 21 September 1970 pada penjual telur berusia 17 tahun Sumaridjem.
Tragedi ini bermula ketika Sumaridjem berjalan pulang sendirian karena tak satupun bus kota yang lewat padahal hari sudah menjelang malam.
Sumaridjem ketika itu diculik oleh segerombolan orang menggunakan mobil yang melintas di timur Asrama Polisi Patuk, Yogyakarta.
Ia kemudian dibawa mengitari Jalan Diponegoro menuju Bumijo dan ddiperkosa di mobil oleh para pemuda tersebut.
Parahnya, uang dagangannya sejumlah Rp 4.650 juga ikut diambil.
Sumaridjem kemudian dibuang di tepi Jalan Wates-Purworejo, Gamping.
Singkat cerita, kasus pemerkosaan ini diduga dilakukan oleh anak-anak dari orang terkemuka di Yogyakarta.
Anggapan ini kuat di masyarakat karena pelaku memakai mobil. Sedangkan saat itu, hanya orang terkemuka dan kaya saja yang memiliki mobil.
Namun, pelaku tak kunjung ditangkap, malah Sumaridjem ditahan polisi usai keluar dari rumah sakit dan dianggap menyiarkan berita bohong.
Ia saat itu dihukum dengan hukuman 3 bulan penjara dan dibebaskan karena tak terbukti berbohong.
Kasus ini menarik perhatian Hoegeng yang kemudian membentuk tim khusus bernama Tim Pemeriksa Sum Kuning yang diketuai Kadapol IX/Jateng, Suwardjiono.
Anak sejumlah pejabat disebut-sebut terlibat dalam kasus ini salah satunya Paku Alam VIII yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY. Namun kemudian hal ini dibantah.
Hoegeng tidak menyerah, Ia kemudian melaporkan kasus ke Soeharto untuk mendapat dukungan, namun Soeharto sayangnya justru meminta kasus diambil alih oleh Tim Pemeriksa Pusat (Kopkamtib).
Setelah tak ditangani Hoegeng dua tahun setelah kasus itu polisi menetapkan tersangka, namun tak membuat publik puas karena pelaku yang ditetapkan tersangka adalah orang yang berprofesi sebagai penjual sate serta mahasiswa.
Selain itu terdakwa juga terus menyangkal tuduhan jaksa.
Masyarakat juga menyoroti ketidaksesuaian pernyataan jaksa dan Sumaridjem selaku korban.
Di mana jaksa menyebut kejadian terjadi di rumah sewa di kawasan Klaten dan dilakukan 7 pemuda.
Namun Sumaridjem mengatakan ia diperkosa 4 orang di atas mobil. Pada akhirnya kasus tersebut tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan.
(TRIBUNNEWS.COM/Ika Wahyuningsih)
Baca berita terkait di sini