Keterangan Belum Siap, Pemerintah dan DPR Minta Penundaan Sidang Gugatan Pemisahan Pemilu
Pemerintah dan DPR belum siap beri keterangan di sidang MK soal permohonan Pemilu tingkat nasional dipisah diberi jarak 2 tahun dengan pemilu daerah.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dan DPR masih belum siap memberikan keterangan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan yang meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah.
“Untuk keterangan presiden kami masih memerlukan koordinasi dan finalisasi,” ujar Koordinator Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik, Hukum, dan HAM Kemenkumham, Purwoko dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
“Karena itu kami mengajukan permohonan penundaan,” sambungnya.
Sementara itu, pihak DPR, sebagaimana disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo juga masih belum dapat memberikan keterangan.
Sidang pun ditunda hingga tanggal 10 Desember mendatang.
Mahkamah berharap baik pemerintah dan DPR dapat segera menyampaikan keterangan demi keberlangsungan proses sidang.
“Supaya tidak menunda lagi ya pak Purwoko ya. Peradilan cepat, sederhana, biaya murah harus diupayakan untuk diwujudkan,” kata Suhartoyo sebelum menutup sidang.
Adapun sidang ini diregister dalam nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Pemohon adalah pihak dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Mereka mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada untuk memisahkan Pemilu nasional.
Baca juga: Deretan Peristiwa Horor yang Pernah Terjadi di Sampang: Kerusuhan Pemilu 1997 Hingga Kasus Syiah
Pasal yang digugat meliputi Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Perludem menilai pelaksanaan Pemilu serentak dengan lima kotak suara menimbulkan sejumlah persoalan, seperti melemahkan pelembagaan partai politik, menghambat proses penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas demokrasi.
Mereka berargumen aturan ini berdampak serius pada asas-asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Keserentakan Pemilu nasional dan daerah dianggap tidak memberikan cukup waktu bagi partai politik untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi secara maksimal.
Akibatnya, pencalonan legislatif cenderung didominasi oleh kandidat populer atau yang memiliki dukungan finansial besar, mengurangi ruang bagi proses kaderisasi yang lebih terencana.
Baca juga: Pilpres, Pileg dan Pilkada Berbarengan, Perludem: Masyarakat Tidak Fokus Karena Pemilu Terlalu Besar
Perludem mengusulkan Pemilu dibagi menjadi dua: Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah, dengan jarak dua tahun antara keduanya.
Permohonan ini juga disertai provisi agar MK memprioritaskan pemeriksaan perkara ini demi kepastian sistem Pemilu di masa depan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.