Geleng-geleng Lihat PDIP Kritik PPN 12 Persen, Gerindra: Mereka Ketua Panjanya
Partai Gerindra mengaku heran PDIP kini mengkritik kenaikan PPN 12 persen. Padahal, PDIP menjadi Ketua Panja pembahasan UU HPP.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Tiara Shelavie
"Karena masih ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperburuk keadaan bagi kelas menengah dan pelaku usaha kecil," kata Puan dalam keterangannya, Kamis (19/12/2024).
Politikus PDIP itu memahami bila kenaikkan PPN 12 persen pada 2025 merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali untuk mengurungkan kenaikan tersebut.
"UU HPP juga mengamanatkan pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN di mana UU HPP menjelaskan PPN yang berlaku pada tahun 2025 adalah sebesar 12 persen. Kita harus cermat dalam memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Puan meminta pemerintah untuk memitigasi dampak yang akan terjadi dengan rencana kenaikan tarif PPN 12 persen.
"Kami memahami tujuan kenaikan PPN untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Namun pemerintah harus memperhatikan dampak yang akan muncul dari kebijakan tersebut," kata Puan.
Ganjar Ikut Kritik
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo juga melontarkan kritik terkait kenaikan PPN.
Menurut Ganjar, kebijakan tersebut bisa membuat rakyat semakin sulit di tengah situasi perekonomian yang tak menentu.
"Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen ini bisa membuat ngilu sedikit kehidupan rakyat. Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara dengan PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina," kata Ganjar dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya @ganjar_pranowo, Kamis (19/12/2024).
Eks Capres 2024 itu membandingkan kebijakan tersebut dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang memiliki tarif PPN lebih rendah.
"Malaysia hanya 8 persen, Singapura 7 persen, dan Thailand 7 persen. Meski ketiga negara tersebut memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan kita," ujarnya.
Ganjar menilai kebijakan ini, meski memiliki tujuan baik, diterapkan pada waktu yang tidak tepat. Ia khawatir kebijakan ini justru akan menjadi beban berat bagi masyarakat kecil.
"Tentu ada baiknya dalam kebijakan ini. Namun, ia mungkin datang pada saat yang salah. Dan pukulan terberatnya akan diterima oleh mereka yang paling rapuh," ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN yang dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara bisa menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, seperti menurunnya daya beli masyarakat dan kepercayaan terhadap pemerintah.
"Saya khawatir kenaikan PPN 12 persen yang dimaksudkan sebagai obat justru menyebabkan sejumlah komplikasi. Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita bukan saja kehilangan pekerjaan, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan rakyat kepada negara bahwa negara hadir melindungi mereka," kata Ganjar.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.