Tarif PPN 12 Persen Berlaku Januari 2025, Ekonom Pastikan Harga Beras Pokok Tak Kena Pajak
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan menyebut bahwa beras premium yang dimaksudkan dalam kategori mewah adalah beras khusus yang diimpor.
Penulis: Yosephin Pasaribu
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Indonesia resmi menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dinilai akan menyebabkan harga barang dan jasa naik.
Padahal, kenaikan tarif PPN 12 persen ini bersifat selektif, yang artinya menyasar barang dan jasa dalam kategori mewah atau premium.
Adapun barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN tersebut adalah rumah sakit dengan layanan kesehatan kelas VIP, institusi pendidikan taraf internasional, listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA, buah-buahan premium, ikan berkualitas tinggi seperti salmon dan tuna, daging premium dengan harga jutaan seperti wagyu dan kobe, serta beras premium.
Masuknya salah satu komoditi pangan strategis ke dalam daftar barang mewah tersebut menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Banyak yang khawatir kebijakan ini akan berdampak langsung pada harga beras yang beredar di pasaran.
Membantah hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan menegaskan bahwa beras premium yang dimaksudkan dalam kategori mewah adalah beras khusus yang diimpor swasta.
Baca juga: Kemenkes: Pelayanan Kesehatan BPJS Bebas PPN 12 Persen
Adapun kategori Beras Khusus diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 2 Tahun 2023, yang meliputi jenis beras ketan, beras merah, beras hitam, beras varietas lokal, beras fortifikasi, beras organik, beras indikasi geografis, beras dengan klaim kesehatan, dan beras tertentu yang belum bisa diproduksi dalam negeri.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, turut menjelaskan bahwa beras khusus yang dikenakan PPN adalah beras dengan harga jual minimum Rp300.000 per kilogram, yang secara langsung menyasar konsumen kelas menengah atas.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Kenaikan PPN 12 Persen Tidak Abaikan Kelas Menengah di Tengah Maraknya PHK
"Beras pokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0 persen), yang mana hal ini sejalan dengan prinsip keadilan dan keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah," jelas Josua kepada Tribunnews saat diwawancarai pada Senin (23/12/2024).
Josua menegaskan, pengenaan PPN 12% pada beras khusus (dari yang sebelumnya 0%) akan meningkatkan harga jual produk tersebut hingga 12%, yang kemungkinan besar akan dikenakan pada konsumen kelas atas.
“Maka dari itu, beras pokok tetap bebas PPN (0%), sehingga tidak ada kenaikan harga dari sisi pajak. Dengan demikian, kelompok masyarakat menengah ke bawah yang bergantung pada konsumsi beras pokok tidak akan terdampak langsung oleh kebijakan ini,” ungkapnya.
Baca juga: Eddy Soeparno: Ada Bantalan Sosial dan Insentif Fiskal Bagi Yang Terdampak Kenaikan PPN 12 Persen
Sesuai asas keadilan dan gotong royong
Dalam penjelasannya, Josua membeberkan bahwa kebijakan PPN 12 persen dirancang dengan asas keadilan guna meminimalkan beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, susu dan sayur, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum dipastikan akan tetap bebas dari PPN.
“Sebaliknya, barang dan jasa mewah seperti beras premium, layanan VIP di rumah sakit, dan pendidikan internasional mulai dikenakan tarif PPN 12 persen sesuai asas gotong royong,” papar Josua.
Diungkapkan Josua, kebijakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen adalah langkah yang strategis namun penuh tantangan. Kenaikan PPN dapat memperkuat fiscal space guna mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Namun di sisi lain, peningkatan tarif PPN juga berpotensi menimbulkan perlambatan ekonomi yang marginal dalam jangka pendek melalui penurunan konsumsi rumah tangga dan tekanan inflasi.
“Dampak ini dapat diminimalkan melalui paket stimulus yang tepat sasaran, subsidi, serta insentif yang diberikan kepada sektor-sektor strategis. Oleh karenanya, pemerintah wajib memastikan pelaksanaan belanja yang efisien guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” pungkas Josua.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.