Zero ODOL Diberlakukan Mulai 2023, Ini Dampaknya Buat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Kalau semua industri dipaksa harus Zero ODOL pada 2023 akan sulit bagi mereka untuk mengubah truk-truk menjadi ukuran yang tidak zero ODOL
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Biro Pusat Statistik (BPS) menyatalan, akibat pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07 persen.
Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan sebesar 15,04 persen.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran hampir semua komponen terkontraksi. Ekspor barang dan jasa menjadi komponen dengan kontraksi terdalam sebesar 7,70 persen.
Sementara, impor barang dan jasa yang merupakan faktor pengurang terkontraksi sebesar 14,71 persen.
Guru Besar Fakultas Teknik UGM yang juga Ketua Tim Teknis Penyusun Kajian Indonesia Menuju Zero Odol, Sigit Priyanto, mengutarakan penerapan Zero ODOL pada 2023 mendatang akan menyebabkan terjadinya penurunan PDB sebesar 0,057%.
“Hal itu terjadi karena setiap 1% penurunan efisiensi aktivitas jasa transportasi darat, ternyata menyebabkan penurunan PDB riil 0,057%,” katanya dalam acara FGD bertajuk “Kebijakan Zero ODOL, Kesiapan Industri dan Tantangan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19, yang diselenggarakan Warta Ekonomi, baru-baru ini.
Baca juga: Gawat! 59 Persen Truk yang Melintas di Jalan Tol Melanggar Aturan ODOL
Dia mengatakan penurunan efisiensi itu terjadi karena adanya kenaikan biaya transportasi yang ujung-ujungnya akan menaikkan biaya atau harga barang.
Karena itu, dia mengusulkan perlunya studi yang lebih detail terkait berbagai unefisiensi dalam pengangkutan barang di Indonesia sebelum Zero ODOL ini benar-benar diterapkan.
Baca juga: Truk ODOL Bikin Rusak Jalan Celaka Orang, Begini Sikap Isuzu
Kalau semua industri dipaksa harus Zero ODOL pada 2023 mendatang, menurut Sigit, akan sulit bagi mereka untuk mengubah truk-truk menjadi ukuran yang tidak zero ODOL karena butuh duit yang banyak.
Baca juga: Kecelakaan Tunggal Truk ODOL di Ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 54 Arah Cikampek
Padahal, kondisi industri masih mengalami kemerosotan akibat terdampak pandemi yang masih terjadi hingga kini.
“Semua tahu bahwa dalam situasi pandemi yang terjadi saat ini, tidak ada yang mendapat uang lebih. Pendapatannya pasti turun termasuk angkutan barang.
Jadi, jika Zero ODOL ini dipaksakan untuk diterapkan di 2023, biaya yang ditanggung industri pasti membengkak dan mereka semakin terpukul. Jika industri terpukul, ini jelas akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Seperti diketahui, sektor industri ini menyumbangkan 20% terhadap PDB nasional.
Karenanya, diperlukan upaya bagaimana caranya supaya ada win-win solution yang tidak merugikan salah satu stakeholder dalam menjalankan Zero ODOL ini. Menurut Sigit, itu juga dilakukan di Afrika, Thailand, Tiongkok, yang juga punya permasalahan yang sama dengan Indonesia, tetapi mereka sudah bisa menyelesaikan dengan membicarakannya secara bersama antara industri, transporter, dan juga pemerintah.
Sementara itu, para pelaku industri mengakui tetap mendukung pemerintah untuk mewujudkan Zero ODOL ini. Hal itu dibuktikan dari persiapan-persiapan yang telah dilakukan saat ini. Tapi, karena pandemi yang berlangsung selama hampir 2 tahun ini telah membuat kondisi industri menjadi porak poranda. Mereka pun hanya meminta kepeda pemerintah agar diberikan kesempatan dulu untuk memulihkan kondisi mereka, dan menunda lagi penerapan ZERO ODOL ini hingga 2025 mendatang.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat, mengutarakan pandemi Covid-19 telah menurunkan utilitas industri makanan dan minuman menjadi 60-an persen dari sebelumnya 80%-an. “Bayangkan, 20-an persen itu nganggur. Akibatnya, barang yang mau diangkut transporter, logistik, itu nggak ada. Jadi truknya nganggur juga. Terus kemudian terjadi commodity crisis karena barang jadi langka. Kondisi ini mengakibatkan penjualan menurun, cost naik, profit anjlok. Jadi ini adalah situasi suram,” ujarnya.
Anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bidang Kebijakan Publik, Agung Utomo, menyampaikan industri kelapa sawit akan mengalami kenaikan ongkos angkut senilai Rp 32,4 triliun setahun akibat kebijakan Zero ODOL. Sementara, selama pandemi, produksi minyak sawit (CPO) asal Indonesia tercatat mengalami penurunan. Pembatasan aktivitas menyusul diterapkannya kebijakan lockdown yang dilakukan beberapa negara pengimpor minyak sawit guna memutus sebaran pandemi, juga telah memperlambat distribusi.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Gunawan juga mengatakan penerapan Zero ODOL akan menaikkan biaya logistik di industri kaca ini sebesar 23%. Dia mengutarakan butuh waktu setahun untuk memulihkan operasional industri akibat pandemi Covid-19.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.