Pemerintah Diminta Rumuskan Kebijakan Subsidi Kendaraan Listrik Secara Cermat, Jangan Salah Sasaran
Rekonsiliasi kebijakan transisi dan subsidi energi akan menjadi semakin penting karena sudah banyak biaya subsidi BBM untuk sektor transportasi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
"Kendaraan listrik juga dapat menggerakkan kegiatan UMKM dengan munculnya bengkel-bengkel kendaraan listrik juga industri komponen local seperti baterai dan kontroler, secara nasional juga dapat meningkatkan ekonomi dari penggunaan nikel milik Indonesia dalam pengembangan industry baterai,” ungkap Senda.
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad ‘Puput‘ Safrudin dalam FGD tersebut, menjelaskan kembali opsi mekanisme insentif dan disinsentif berdasarkan kinerja penurunan emisi karbon kendaraan yang diusulkan KPBB sejak 2013 saat pemerintah menginisiasi insentif fiscal kendaraan rendah Karbon (LCEV, Low Carbon Emission Vehicle) pada pembahasan draft PP No 41/2013.
Pada skema ini, pertama pemerintah harus menetapkan standard kendaraan bermotor (grCO2/km) yang harus dipatuhi oleh seluruh produsen kendaraan bermotor, apapun teknologinya (BEV, HEV, PHEV, FCEV, ICE, HICEV)1 sehingga tidak terjadi diskriminasi teknologi.
Baca juga: Berpotensi Terima Subsidi, Motor Listrik Alva Klaim Berhasil Tingkatkan TKDN Hingga 44 Persen
Kedua, pemerintah menetapkan bahwa kendaraan yang memenuhi standard karbon, maka berhak atas insentif fiscal, namun sebaliknya kendaraan yang tidak memenuhi standard karbon harus rela dipungut cukai karbon yang besarannya tergantung pada level karbon yang diemisikan oleh kendaraan tersebut.
“Sayangnya pemerintah pragmatis dengan hanya menetapkan insentif untuk KBLBB2 yang kinerja emisi karbonnya terbaik saat ini, sehingga terbit kebijakan insentif kendaraan listrik, sementara kendaraan yang emisi karbonnya tinggi tidak dikenakan sanksi. Tentu saja tidak salah kebijakan tersebut, namun tidak paripurna dan memberatkan APBN serta terancam keberlanjutannya terkait sumber pendanaan," Ahmad Safrudin.
Ahmad menilai penggunaan terminologi Subsidi Kendaraan Listrik juga harus diralat, karena menimbulkan kesalah-fahaman yang dapat berujung pada distrust bahkan civil disobedience terhadap pemerintah yang terkesan memberikan subsidi kepada orang kaya.
Faktanya hal itu bukanlah subsidi, melainkan hanya potongan pajak kendaraan bermotor. Sepeda motor listrik yang ditetapkan berhak atas insentif Rp 7 juta/unit misalnya, sesungguhnya hanyalah memperoleh potongan pajak sebesar 35% dari total 43% pajak yang seharusnya dibayar (sekitar Rp 13 juta/unit).
"Sehingga masih tersisa 8% pajak yang tetap harus dibayar oleh pembeli sepeda motor listrik, yaitu sekitar Rp 6 juta/unit," ujarnya.