Jokowi Dimitoskan Masyarakat, Pengamat: Padahal Kerjanya Biasa Saja
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan saat ini sudah ada gejala
Penulis: Y Gustaman
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan saat ini sudah ada gejala di masyarakat yang memitoskan Joko Widodo sebagai satu-satunya orang yang harus dipilih sebagai calon presiden dibandingkan dengan calon lainnya.
Terbukti, hampir di semua hasil survei, Jokowi melenggang sendirian, meninggalkan capres lainnya. Bahkan, Indo Barometer sudah membuat simulasi capres, Jokowi tetap unggul paling atas, entah menggunakan simulasi 12 capres, empat capres, atau tiga capres.
"Saat ini orang sudah sampai memitoskan Jokowi. Maka jalan keluarnya adalah memunculkan mitos baru. Jokowi hanya bisa dilawan dengan mitos baru. Yang muka lama mau dikampanyekan, dikulik-kulik, diiklankan, tidak akan mampu melawan," ujar Hamdi saat membedah hasil survei Indo Barometer di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu (22/12/2013).
Menurut Hamdi, dirinya bukan menolak pencalonan Jokowi. Namun, ia mengingatkan agar kompetisi berjalan seimbang, perlu lawan yang sepadan juga. Terbukti, capres muka lama seperti Prabowo, Aburizal Bakrie, Wiranto, tak cukup mampu memberikan perlawanan.
Jika muka lama ini tetap dipertahankan, dan ternyata Jokowi diusung PDI Perjuangan sebagai capres, dipastikan akan menang. Karena, ibarat makanan, capres muka lama tak ubahnya sudah basi dan meski diiklankan, dan dipanaskan di dalam oven, orang tak akan makan.
Hamdi menambahkan, dalam teori narasi, Jokowi adalah narasi besar yang sudah menjadi perbincangan banyak orang. Kalau mau melawan Jokowi, perlu diciptakan narasi besar lainnya. Bukan tidak mungkin, menciptakan narasi besar tandingan jika didukung media, akan mampu mengimbangi Jokowi.
Fenomena Jokowi, sambung Hamdi, harusnya membuat partai sadar dengan tidak mempertahankan calon yang ada. Setidaknya capres-capres yang ada sekarang harus memenuhi kompetensi, integritas, manajemen, dan empati sosial. Dan Jokowi tinggi karena empati sosial dan integritas.
"Padahal dia kerja biasa-biasa saja. Dia bilang, dia bekerja apa yang seharusnya dia kerjakan. Sama seperti Ahok. Dan selama ini, banyak pejabat publik tidak mengerjakan apa yang harus menjadi kerjaannya. Elite lama dan partai tidak aware. Kompetensi Jokowi belum maksimum. Kalaupun dia maju kita harus menguji kompetesinya," ulasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.