Pendanaan Saksi Parpol oleh Negara Bakal Timbulkan Masalah
Aktivis pemantau pemilu terdiri dari JPPR, Perludem, IPC, ICW, KIPP Jakarta dan KIPP Indonesia menolak kebijakan Bawaslu mendanai saksi partai
Penulis: Y Gustaman
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis pemantau pemilu terdiri dari JPPR, Perludem, IPC, ICW, KIPP Jakarta dan KIPP Indonesia menolak kebijakan Badan Pengawas Pemilihan Umum mendanai saksi partai di tempat pemungutan suara (TPS) padi hari pemilihan.
Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia, Engelbert Johannes Rohi, dalam diskusi 'Saksi Parpol Seharusnya Tidak Dibiayai Negara,' di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (22/1/2014) menilai hal tersebut rawan diselewengkan.
Menurut pria yang akrab disapa Jojo ini, ditakutkan saksi parpol yang dibiayai negara tidak memiliki ikatan ideologis, loyalitas dengan partai yang diwakilinya. Sehingga berpotensi dan rawan menimbulkan praktik transaksional di antara mereka.
Hal tersebut berangkat tidak kuatnya pengkaderan di semua partai politik. Sehingga ketika kadernya yang tidak mampu jadi saksi, parpol mencari saksi di luar kader. Sehingga, besar kemungkinan saksi ini akan bermain dua kaki untuk parpol berbeda.
"Maka, kegagalan ini jangan sampai dibebankan kepada negara, karena itu tidak adil. Padahal, ukuran suksesnya sebuah partai politik yaitu dalam pengaderan, salah satunya menempatkan saksi-saksi di TPS," terang Jojo.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional JPPR, M Afifuddin. Ia menyangsikan saksi yang harus menjadi alat partai dibiayai oleh negara. Dengan adanya klausul demikian, partai yang minim kader akan berlomba-lomba mencari saksi di luar kadernya.
Menurutnya, seharusnya anggaran negara yang begitu besar digunakan untuk penguatan Bawaslu dan jajaran pengawas sampai tingkat bawah. Dengan begitu, Bawaslu bisa bekerja cepat melakukan pengawasan di lapangan, tanpa perlu mengongkosi saksi parpol.
"Apa bedanya pengawas mencari relawan pengawas. Ini ibarat orang berselingkuh dibiayai oleh negara, perselingkuhan parpol dan penyelenggara pemilu dibiayai negara. Parpol masuk kategori fakir miskin dan anak terlantar yang dibiayai negara," kata Afif.
Sementara Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaedi mengatakan, seharusnya Bawaslu yang pertama menolak. Karena fungsinya diambil alih oleh parpol. Karena, sudah tugas parpol menghadirkan saksinya di TPS, maka biaya negara tak perlu keluar.
Pemerintah pada akhirnya menyetujui anggaran tambahan dana pengawasan yang diminta Bawaslu sebesar Rp 1.5 triliun, terdiri dari Rp 800 miliar untuk bimbingan teknis dan honor Mitra Pengawas Pemilu Lapangan di seluruh TPS dan Rp 700 miliar untuk honor saksi parpol.
Diketahui, jumlah seluruh TPS untuk Pemilu 2014 tercatat sebanyak 545.778. Bisa dibayangkan, jika dalam satu TPS terdapat 12 orang saksi dari perwakilan parpol, ditambah dua Mitra PPL, maka diperlukan sekira 7.6 juta orang.