Pius Lustrilanang Minta PDIP dan Mega Berhenti Gunakan Isu Pelanggaran HAM
tidak lagi menggulirkan isu pelanggaran hak azasi manusia (HAM) saat menjelang pilpres seperti sekarang ini
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan aktivis 1998 yang menjadi korban penculikan Pius Lustrilanang meminta kepada PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri tidak lagi menggulirkan isu pelanggaran hak azasi manusia (HAM) saat menjelang pilpres seperti sekarang ini.
"Berhentilah menggunakan isu penghilangan orang secara paksa sebagai komoditas politik. Sebagai korban, terus terang saya merasa terhina. Yang saya tahu, mereka yang berjuang tulus tanpa kepentingan untuk mencari mereka yang masih hilang hanya keluarga para korban. Sebagai korban, saya tahu bagaimana menderitanya mengalami penghilangan secara paksa dan penyiksaan yang menyertainya. Saya juga tahu bagaimana perasaan keluarga korban dalam penantian penuh ketidakpastian," ujar Pius dalam halaman resmi Facebooknya, Kamis(5/6/2014).
Menurut Pius, sejak tahun 1998, dirinya mengikuti terus perjuangan keluarga korban dalam mencari keadilan. Komnas HAM juga sudah bekerja mencari informasi sejak tahun 1999. Bahkan sejak UU Nomor 26 tahun 2000 disahkan, Komnas HAM sudah membentuk Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat dan sudah bekerja sejak 1 Oktober 2005 sampai 30 Oktober 2006.
"Saya menyaksikan dengan seksama bahwa dalam menyelesaikan penyelidikannya, Tim ad hoc menemui banyak hambatan,"ujar Pius.
Adapun hambatan-hambatan yang dimaksud tersebut adalah keengganan sebagian saksi korban dalam memenuhi panggilan untuk memberikan kesaksian lalu penolakan TNI untuk menghadirkan personel TNI. TNI merujuk pada Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 26 tahun 2000 bahwa Komnas HAM tidak serta merta berwenang melakukan penyelidikan proyustisia melainkan harus didahului pembentukan pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden atas usul DPR.
Berikutnya lanjut Pius, penolakan Jaksa Agung untuk memberikan perintah mengunjungi lokasi penahanan dan untuk mendapatkan perintah menghadirkan ahli. Alasan Jaksa Agung sama dengan alasan TNI.
"Penolakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menghadirkan secara paksa sejumlah saksi yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komnas HAM," kata Pius.
Ketua DPP Partai Gerindra ini juga menjelaskan rekomendasi Tim ad hoc yang isinya adalah meminta kepada Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan lalu menyampaikan hasil penyelidikan kepada DPR RI dan Presiden untuk mempercepat pembentukan pengadilan HAM ad hoc serta mengupayakan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada para korban maupun keluarga korban.
"Tidak ada langkah yang dilakukan Presiden maupun DPR untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM. DPR memang kemudian membentuk Pansus Penanggulangan atas Hasil Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998. Pansus yang dipimpin oleh Efendi Simbolon ini akhirnya memberikan rekomendasi yang disahkan pada tanggal (28/9/2008)," ujarnya.
Isi rekomendasi tersebut adalah memberikan saran kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc, merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang masih hilang, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap korban dan keluarga korban lalu erekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
"Tapi sampai hari ini, Presiden belum melakukan apa pun untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR. Lalu ketika hari ini isu ini dimunculkan lagi oleh kubu salah satu capres untuk mendeskeditkan capres yang lain, saya betul-betul kecewa. Saya tahu bahwa kesempatan terbaik untuk menuntaskan kasus orang hilang adalah saat Megawati berkuasa. UU sudah disahkan sejak tahun 2000, tapi tidak ada upaya apapun yang dilakukan oleh PDIP untuk menyelesaikan kasus ini. Bukankah kewenangan membentuk pengadilan ad hoc ada di tangan Presiden atas usul DPR?. Ketika Megawati menggandeng Prabowo sebagai cawapres, isu pelanggaran HAM ini juga tidak dipakai oleh kubu lawan untuk menyerang Megawati. Lalu mengapa isu ini sekarang digunakan lagi oleh kubu capres dukungan Megawati?," ujarnya.
"Saya percaya bahwa kasus pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluarsa. Saya juga menentang impunitas yang dinikmati pleh para pelaku sampai hari ini. Tapi saya sadar dan realistis. Mungkin kita masih harus sedikit bersabar. Mungkin ada sebuah penyelesaian lain yang kita bisa temukan untuk menyelesaikan beban sejarah masa lalu yang pahit ini. Sepanjang itu dilakukan oleh mereka yang punya komitmen penuh, saya dukung," tambah Pius.
"Saya tidak sedang membela seseorang. Kalau pun saya bermaksud membela, pembelaan itu tidak ada artinya. Suara saya tidak akan bisa membuat pemegang otoritas membentuk atau tidak membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Saya cuma menolak kasus ini dijadikan komoditas politik," tutup Pius.