Sumarni Rela Berjualan Baju Bekas demi Perjuangkan Pendidikan Anak-anak PAUD
Saat ini, ada 17 anak yang bersekolah di PAUD Flamboyan atau hanya sekitar 10 persen dari seluruh jumlah anak usia dini yang ada di dusunnya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Sumarni (33), selain melihat keceriaan anak-anak di Pendidikan Usia Dini (PAUD) Dusun Kalipelus, Desa Wuwuharjo, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Wanita ini bahkan rela mengorbankan tenaga, pikiran dan hartanya demi pendidikan bocah-bocah yang tinggal di wilayah perbatasan Kabupaten Magelang dengan Purworejo dan Wonosobo itu.
Setiap pagi, ia menjumpai belasan anak-anak itu, lalu mengajak mereka untuk belajar, bernyanyi, dan bermain. Sumarni selalu terlihat sabar dan tersenyum di hadapan anak-anak.
Di balik keceriaan Sumarni, ada perjuangan yang tak terhitung demi anak-anak didiknya. Berbagai cara dilakukan agar PAUD yang dirintisnya sejak empat tahun lalu itu tetap berdiri menampung anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.
Mulai dari berjualan baju bekas, hingga rela tidak mendapat upah selama mengajar di PAUD bernama Flamboyan itu. Sumarni berjuang bersama dua temannya, Rikanah dan Rosidah.
"Karena tidak punya biaya kami berinisiatif untuk berjualan baju layak pakai untuk mencukupi biaya operasional PAUD. Itu pun jika ada yang membantu. Kami jual Rp 1.000 - Rp 5.000 per potong kepada teman, saudara, tetangga dan lainnya," kata Marni ditemui akhir pekan lalu.
Marni menceritakan, PAUD ini didirikan pada 2013 lalu. Sebelumnya ia dan ibu-ibu di tempat tinggalnya menjuarai Posyandu tingkat Kabupaten Magelang.
Ia merasa prihatin dengan anak-anak di dusunnya yang tidak banyak mengenyam pendidikan sejak dini. Hal itu karena akses sekolah yang jauh dari dusunnya serta minimnya kesadaran masyarakat akan pendidikan.
Saat ini, ada 17 anak yang bersekolah di PAUD Flamboyan atau hanya sekitar 10 persen dari seluruh jumlah anak usia dini yang ada di dusunnya.
Sejak sekolah untuk anak-anak itu dibuka, ia tidak pernah memungut biaya mahal dari wali atau orangtua murid, hanya Rp 10.000 per anak setiap bulan. Itu pun tidak semua membayar tepat waktu. Mayoritas warga setempat masih berada di bawah garis kemiskinan.
"Uang yang terkumpul setiap bulan tidak cukup untuk biasa operasional. Kami jualan baju bekas kalau ada yang menyumbang, tidak bisa ditentukan waktunya. Hasil penjualan baju bekas rata-rata dapat Rp 200.000," sebutnya.
Atas kondisi tersebut praktis pendidikan belum bisa diterapkan maksimal. Fasilitas bermain anak minim. Padahal anak-anak usia dini harus belajar dengan cara bermain.
"Tidak jarang berhutang. Dari bulan Juli 2016 lalu kas kami baru bisa beli sabun deterjen sekilo per guru, dan sampai hari ini belum bisa beli lagi," ujar wanita kelahiran Purworejo, 8 Juli 1984 itu.
Dapat BOS