Kasus Kekerasan di Sekolah Muncul karena Kesalahan Sistem Pendidikan
Hubungan antara keduanya kadang berjalan harmonis, namun tidak jarang kontradiktif sehingga sudah saatnya pengajar harus mulai disetting ulang
Editor: Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kekerasan yang terjadi di sekolah tidak boleh dipandang sebagai sebuah kasus semata namun harus dilihat sebagai kesalahan sistem pendidikan.
Novi Chandra, Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, selayaknya kemampuan sosial emosi mestinya menjadi agenda utama pendidikan Indonesia.
"Caranya melalui penciptaan ekosistem sekolah yang positif, aman, menyenangkan dan memanusiakan," kata Novi Chandra kepada wartawan, Senin (16/12/2019).
Novi yang juga penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan mengatakan, guru dan siswa adalah dua elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan.
"Hubungan antara keduanya kadang berjalan harmonis, namun tidak jarang juga bersifat kontradiktif sehingga sudah saatnya pengajar harus mulai disetting ulang," katanya.
Ia menyebut Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) telah melakukan transformasi pendidikan yang membuat para siswanya senang dan nyaman di sekolah.
Baca: Rhenald Kasali Luncurkan Buku Series on Education
Baca: Nadiem Makarim Akui Belum Bahas Soal Peningkatan Kesejahteraan dan Kompetensi Guru
Baca: 13 Mata Pelajaran Unik dari Berbagai Negara yang Tak Ada di Indonesia, Ada Mapel Cara Hidup Bahagia
Dengan menanamkan nilai-nilai empati pada seluruh elemen sekolah, maka tindak kekerasan di sekolah dapat dipangkas.
Menurut Novi, antara semua pihak di sekolah seharusnya menjalin komunikasi dengan baik, ada kesepakatan yang mengikat semuanya dalam bentuk kode etik.
"Kode etik sekolah dibuat bersama-sama antara sekolah, anak, dan orang tua agar tercipta ekosistem yang terbuka. Kode etik inilah yang nantinya digunakan apabila terjadi permasalahan di sekolah," katanya.
Yang terjadi saat ini guru sebagai pihak yang superior seringkali melakukan tindak kekerasan terhadap siswa, dengan alasan ‘tegas’.
Mirisnya lagi, kadang oknum guru melakukan tindak kekerasan dengan dalih untuk menegakkan kedisiplinan bagi siswa di sekolah.
Baca: Mendorong Keterlibatan Pihak Swasta dalam Memajukan Pendidikan di Indonesia
Baca: Surga Belajar Bahasa di Kampung Inggris
Baca: Level Kompetisi Kemampuan Mengeja dalam Bahasa Inggris Anak Indonesia Makin Meningkat
Kebanyakan orang dewasa termasuk guru seringkali enggan untuk menurunkan ego dan mengakui kesalahan di depan anak-anak karena merasa superioritasnya akan hilang.
"Padahal dengan meminta maaf ketika melakukan kesalahan, koneksi akan semakin terbangun dan anak-anak akan belajar bahwa melakukan kesalahan itu tidak apa-apa asalkan bertanggung jawab dan mengakuinya,” kata Novi.
Studi Programme for International Student Assessment (PISA) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development(OECD), Sekitar 88% siswa di Indonesia (rata-rata OECD: 74%) setuju atau sangat setuju bahwa guru mereka menunjukkan kegembiraan dalam mengajar.
Menurut PISA, Anak-anak yang menyukai gurunya cenderung senang dengan apa yang guru sampaikan. Perasaan benci, kecewa, dan tidak nyaman membuat anak-anak tidak akan bisa mempelajari sesuatu dari orang yang tidak mereka sukai.
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) hadir dengan konsep sekolah masa depan, yang mengubah pola didik mendikte yang telah usang, menjadi sekolah yang menyenangkan.
GSM berusaha untuk menciptakan lingkungan positif, mengubah paradigma guru sebagai pengajar menjadi fasilitator.
GSM juga melibatkan dan mendengarkan siswa karena mereka adalah subjek, bukan sekadar objek dari pendidikan.