Pemerhati Pendidikan Soroti Tata Kelola Pendidikan Online: Butuh Tahapan Pelaksanaan yang Jelas
Prof Harun Joko Prayitno, pengamat pendidikan dari UMS memberikan pandangan terkait tata kelola pendidikan online.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Prof Harun Joko Prayitno, seorang pemerhati dan pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memberikan pandangan terkait tata kelola pendidikan online.
Di tengah gonjang-ganjingnya pendidikan di masa pandemi, pembelajaran secara daring agaknya dianggap solusi.
Lantas apakah pendidikan online ini benar-benar bisa menjadi solusi?
Harun yang juga menjabat Dekan FKP UMS menilai, pendidikan online memiliki kelebihan pada aspek beyond classrooms (melampaui batas ruang dan waktu).
Namun pendidikan online dihadapkan pada sejumlah kendala.
Baca: Kemendikbud Terbitkan Kurikulum Darurat pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus
Baik kendala teknis jaringan, hambatan sosioal ekonomi biaya, kendala sosiokultural kesiapan adaptasi, maupun masalah substansi atau hakikat pendidikan itu sendiri.
"Sebab pendidikan hakikatnya suatu proses, bukan semata-mata hasil."
"Hasil adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah proses pendidikan," ujar Harun dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Minggu (9/8/2020).
Seperti tak memiliki pilihan lain, Ketua ALPTK PTM Indonesia ini juga menilai, pendidikan online tetap akan dilaksanakan oleh Kemendikbud dan Kemenag secara penuh.
Baca: E-learning Dibutuhkan untuk Solusi Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19
Baca: Pemerhati Pendidikan: Tak Ada Sinyal dan Internet Jangan Jadi Alasan untuk Buka Sekolah
Baik dari jenjang pendidikan anak usia dini, sampai dengan pendidikan perguruan tinggi, tanpa disertai petunjuk teknis dan tahapan pelaksanaan yang jelas.
Bila benar tidak adanya tahapan yang jelas, apa dampak yang bisa ditimbulkan?
Harun memperkirakan, timbulnya kepunahan atau bahkan matinya pendidikan (education death) dan punahnya atau matinya kepekaan sosial (social death).
"Karena anak-anak yang masih dalam proses tumbuh dan berkembang tersebut hanya mengalami pertumbuhan secara fisik."
"Tetapi perkembangan mental dan kejiwaan pendidikannya mengalami kemandegan."
Baca: Wujudkan Masa Depan Anak dengan Menjaga Kualitas Pendidikan
"Perkembangan mental dan kejiwaannya sebagai makluk sosial yang masih membutuhkan ruang interaksi dan komunikasi serta kreativitas tersumbat," paparnya.
Menurut Harun, bila terus dilakukan para penerus generasi di masa mendatang ini hanya mendapatkan imajinasi pendidikan.
Mereka tidak mendapatkan hak-hak pendidikan empiris yang berinteraksi langsung dengan lingkungan belajarnya.
Bukan hanya itu saja, lanjut Harun. mereka juga akan memiliki trauma penjang, belajar di sekolah dianggapnya belajar yang menakutkan.
"Belajar di sekolah diangapnya tidak aman. Belajar di sekolah dianggapnya sudah tidak ada lagi. Belajar di sekolah tidak diperlukan lagi. Belajar di sekolah bisa menimbulkan penyakit."
Baca: Kemendikbud Diharap Lebih Maksimal Atur Pendidikan di Masa Pandemi
"Oleh sebab itu, dalam konteks ini secara perlahan dan dengan disertai juknis dan pentahapan yang jelas."
"Kegiatan kembali belajar di sekolah menjadi sangat penting untuk membangkitkan kembali, gerakan ayo ke sekolah, ayo jaga kebersihan, ayo jaga kesehatan," tegas Harun.
Ia mengatakan, tiga pilar antara sekolah, kebersihan, dan kesehatan menjadi momen penting saat ini.
"Ini semua penting supaya tidak menjadi loss generation seperti dikemukakan oleh Mendikbud Nadiem Makarim akhir-akhir ini."
"Oleh sebab itulah, pilar belajar learning to do dan learning to leave together, menjadi yang lebih penting dari pada sekedar learning to know dan learning to how secara online," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)