Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lahirnya UU Sistem Perbukuan Mengatasi Karut Marut Perbukuan di Indonesia?

Apakah UU Sistem Perbukuan bisa mengatasi dunia perbukuan yang karut marut? Misalnya, penulis belum mendapatkan hak royalti.

Editor: cecep burdansyah
zoom-in Lahirnya UU Sistem Perbukuan Mengatasi Karut Marut Perbukuan di Indonesia?
Istimewa
Neidya Fahma Sunendar, Mahasiswa Doktoral Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 

Hal ini juga mengakibatkan masih ditemukannya buku teks pelajaran yang memuat konten tidak pantas, misalnya berbau pornografi, mengandung unsur kekerasan, dan bentuk lainnya yang tidak sesuai untuk konsumsi peserta didik di satuan pendidikan.

Banyak penerbit yang menjual buku-buku tersebut hanya untuk mengejar keuntungan tanpa memperhatikan konten buku yang diterbitkannya. Sangat disayangkan pula karena pihak sekolah tidak memeriksa terlebih dahulu konten di dalam buku tersebut. Banyak orang tua yang terkejut saat membaca buku pelajaran anak-anaknya hingga kemudian mereka melaporkan masalah ini kepada pihak Dinas Pendidikan.

Sejatinya, buku-buku yang diberikan oleh pemerintah adalah buku-buku yang telah lolos penilaian dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sehingga, prinsip mutu juga menjadi salah satu masalah yang masih ditemui di sekolah yang lebih memilih untuk menggunakan buku-buku dengan kualitas yang belum terjamin.

Setelah ditelusuri, ternyata kebanyakan buku yang memuat konten tidak senonoh itu belum memperoleh penilaian Puskurbuk, Kemendikbudristek, dan belum memperoleh izin beredar di satuan Pendidikan.

Sebuah buku yang baik berdasarkan penilaian Puskurbuk adalah buku yang sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria utama, yaitu bahasa, isi, penyajian, dan kegrafikaan. Keempat kriteria utama ini memiliki cakupan yang masing-masing tujuannya menjaga agar sebuah buku terhindar dari persoalan pokoknya.

Dalam UU Sistem Perbukuan ditegaskan bahwa terdapat 10 pelaku perbukuan, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, desainer, ilustrator, pencetak, pengembang buku elektronik, penerbit dan toko buku, yang semuanya harus bersinergi untuk menghasilkan buku yang berkualitas.

Pada kenyataannya, masih sering muncul masalah yang dihadapi oleh para pelaku tersebut, salah satu di antaranya berkaitan dengan para penulis. Masalah yang dihadapi para penulis buku terkait pembayaran royalti yang masih belum terealisasi sesuai harapan.

Berita Rekomendasi

Penulis dan penerbit juga masih dibayang-bayangi masalah pembajakan buku, baik dalam skala besar ataupun kecil. Pada skala yang kecil dan sederhana, melakukan pengopian buku tanpa seizin penerbit telah termasuk dalam tindakan pembajakan karena hal tersebut telah melanggar hak cipta dari penulis dan penerbit.

Selain itu, hasil dari penggandaan tersebut tidak dapat terdeteksi dan menjadi royalti yang tidak dapat dibayarkan kepada para penulis buku. Di samping itu, pajak yang dikenakan kepada para penulis buku yang masih tergolong tinggi sehingga mempengaruhi kreativitas para penulis dalam menyampaikan karya-karya terbaik mereka.

Isu royalti tidak selalu ditemukan oleh para penulis, khususnya pada sistem digital yang tengah berkembang dewasa ini. Saat ini terdapat banyak aplikasi berbasis daring yang menyediakan cerita-cerita fiksi yang diperoleh dari unggahan-unggahan para penulis di aplikasi tersebut. Penulis memperoleh keuntungan dari seberapa banyak pembaca yang mengakses karyanya. Aplikasi ini cukup meningkat popularitasnya, khususnya pada masa pandemi karena memudahkan pembaca untuk mengakses ratusan bahkan ribuan bacaan fiksi dalam sekali akses. Penulis memperoleh keuntungan yang cukup besar karena pembagian keuntungan yang ditetapkan oleh aplikasi ini adalah sebesar 55% bagi penulis.

Meskipun demikian, muncul masalah lain akibat dari adanya aplikasi tersebut yang membuat resah masyarakat, seiring ditemukannya konten-konten pornografi karena banyak aplikasi yang tidak menyediakan editor atau penyunting cerita. Hal ini menimbulkan risiko bagi para pembaca khususnya kalangan anak-anak yang mulai gemar membaca cerita fiksi.

Aplikasi-aplikasi ini dapat dengan mudah diakses serta diunduh secara gratis. Pembaca cukup membayar biaya tertentu untuk mengakses cerita yang disukai, dan cara pembayarannya pun sangat mudah dilakukan. Kemudahan yang disediakan aplikasi penyedia perlu dibarengi juga dengan sistem penyuntingan yang ketat agar cerita-cerita yang disajikan dapat disesuaikan dengan target pembaca dan tidak sampai merusak generasi muda dengan konten-konten berbau pornografi di dalamnya.

Kehadiran UU Sistem Perbukuan memang tidak serta merta menyelesaikan karut- marutnya sistem perbukuan yang saat ini terjadi di Indonesia. Masih diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk turut memberi andil dalam memperbaiki tatanan sistem perbukuan yang ada.

Kesepuluh pelaku perbukuan perlu berjalan selaras dalam memajukan perbukuan di tanah air. UU Sistem Perbukuan menjadi landasan hukum kuat  yang dapat digunakan sebagai tonggak dalam menyongsong dunia perbukuan di Indonesia yang lebih baik dengan tetap mengutamakan prinsip 3M, yaitu Mutu, Murah, dan Merata. Diharapkan, dengan membaiknya sistem perbukuan di Indonesia, dapat mendorong peningkatan literasi bagi masyarakat dan peserta didik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas