Lahirnya UU Sistem Perbukuan Mengatasi Karut Marut Perbukuan di Indonesia?
Apakah UU Sistem Perbukuan bisa mengatasi dunia perbukuan yang karut marut? Misalnya, penulis belum mendapatkan hak royalti.
Editor: cecep burdansyah
Oleh: Neidya Fahma Sunendar
Mahasiswa Doktoral Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Buku adalah jendela dunia. Buku adalah gudang ilmu, dan masih banyak lagi pepatah yang sering didengungkan yang mengiaskan bagaimana pentingnya buku yang dapat membuka wawasan dan pengetahuan seseorang.
Sejak lama buku digunakan sebagai sumber dalam pembelajaran serta sarana untuk mengekspresikan ide melalui berbagai novel sebagai bentuk dari karya fiksi seorang penulis.
Meski begitu, kondisi perbukuan di Indonesia belum begitu menggembirakan, khususnya pada ranah buku pelajaran. Sebuah harapan muncul pada saat UU Nomor 3 Tentang Sistem Perbukuan disahkan pada tahun 2017. UU ini memberikan sebuah angin segar bagi penulis dan dunia pendidikan untuk menjadi solusi atas karut-marutnya dunia perbukuan di Indonesia.
Pada prinsipnya, sistem perbukuan diselenggarakan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penyelenggaraan sistem perbukuan bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta tanah air serta membangun jati diri dan karakter bangsa melalui pembinaan sistem perbukuan, mengatur dan mewujudkan sistem perbukuan serta meningkatkan mutu dan jumlah sumber daya perbukuan untuk menghasilkan buku bermutu, murah, dan merata, menumbuhkembangkan minat dan budaya membaca dan menulis; dan meningkatkan peran pelaku perbukuan untuk mempromosikan kebudayaan nasional Indonesia melalui buku di tengah peradaban dunia (PP RI Nomor 75 Tahun 2019).
Salah satu poin menarik dari tujuan sistem perbukuan ini adalah terciptanya buku dengan prinsip 3M, yaitu Mutu, Murah, Merata. Buku yang bermutu dapat diartikan sebagai buku yang sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik yang berlaku untuk memberikan sebuah buku yang berkualitas bagi masyarakat.
Prinsip murah berhubungan dengan pemenuhan hak masyarakat Indonesia untuk mengakses buku yang terjangkau, gratis, dari pemerintah. Terakhir, prinsip merata berarti masyarakat di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), daerah bencana, dan masyarakat penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan buku atau mengakses buku.
Pada kenyataannya, prinsip-prinsip ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah sebagai penyedia dan penjamin layanan perbukuan di Indonesia.
Salah satu prinsip yang masih menjadi kendala adalah pemerataan. Akses buku bagi sekolah-sekolah yang berlokasi di wilayah Indonesia Timur masih terbatas. Salah satu penyebab utamanya adalah sulit dan mahalnya biaya pendistribusian buku ke wilayah Indonesia Timur. Oleh karena itu, capaian pemerataan ini masih lebih banyak dikirim ke wilayah Indonesia Barat dan Tengah saja untuk saat ini.
Selain itu, masih banyaknya sekolah yang tidak memanfaatkan buku yang telah diberikan pemerintah secara gratis. Padahal, selama hampir 10 tahun terakhir, seluruh satuan pendidikan (SD, SMP, SMA dan SMK) di Indonesia, terutama sekolah dengan status negeri, memperoleh bantuan pemerintah berupa buku-buku gratis melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Sebanyak 20% dari bantuan tersebut diperuntukkan untuk pembelian buku-buku.
Faktanya, masih ada sekolah yang membeli buku pelajaran dari penerbit yang datang menawarkan buku-buku ke sekolah, padahal buku-buku tersebut belum melalui proses penilaian resmi dari Puskurbuk. Sekolah-sekolah akhirnya membeli buku-buku tersebut karena ada iming-iming harga diskon dan murah, meskipun kualitas atau mutunya belum terjamin.
Padahal, jika terbukti melanggar, berdasarkan Permendikbud Nomor 8 tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, hal ini dapat menyebabkan penurunan akreditasi, penangguhan bantuan pendidikan, sampai rekomendasi terberat.