Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Kontroversinya di Era Presiden Soekarno hingga Soeharto
Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 dan kontroversinya di era Presiden Soekarno hingga Soeharto. Surat perintah ini berisi instruksi kepada Suharto.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Garudea Prabawati
Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno.
A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang Kabinet 100 Menteri itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh.
Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu.
Ia juga menuturkan, sebelumnya Amir Machmud menelepon dari Istana Merdeka (Jakarta) kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor.
Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar.
Di sanalah Bung Karno, namun tidak ditodong, karena mereka datang baik-baik.
Situasi di luar istana saat itu sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi, kemudian Bung Karno menandatangani surat itu.
A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuannya yang tidak hadir di Bogor namun berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain, Jendral Panggabean tidak ikut pergi ke Istana Bogor dan tidak menghadiri rapat kabinet.
Baca juga: Gerwani dan Stigma Negatif Organisasi Perempuan Indonesia, Sering Dihubungkan dengan G30S 1965
4. Siapa yang Mengetik Naskah Supersemar?
Orang yang mengetik supersemar sebenarnya masih tidak jelas.
Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
5. Dimana Naskah Asli Supersemar?
Sejarawan asing, Ben Anderson, mendapat kesaksian dari seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor.
Tentara tersebut mengemukakan Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan.
Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini.
ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal.
Selain itu, ANRI juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Namun hal itu tidak pernah terwujud.
Ketidakjelasan Supersemar itu membuat para sejarawan dan ahli hukum Indonesia mengatakan peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah bagian dari sejarah Indonesia yang masih gelap.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Surat Perintah 11 Maret