Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hitam Putih Afrika Selatan

Sejarah Afrika Selatan

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-in Hitam Putih Afrika Selatan
TRIBUNNEWS/BUD
Wartawan Tribunnews.com Nurfahmi Budiarto bersama seorang kulit putih Afrika Selatan 

Perbudakan mulai terjadi. Bahkan, selain orang asli, Belanda juga membawa budak-budak dari Madagaskar dan Indonesia. Semakin banyak orang kulit putih di Afsel, semakin banyak pula konflik hitam dan putih. Ditambah hadirnya Inggris pada 1806 sebagai penjajah baru, konflik semakin meluas.

Warga kulit putih keturunan Belanda, Perancis, dan Jerman (Boer) harus meninggalkan Cape Town dan pindah ke pedalaman. Mereka pun semakin sering terlibat peperangan dengan warga lokal berkulit hitam baik suku Zulu maupun Xhosa. Perang antara Inggris dan warga Boer pun mewarnai sejarah Afsel.

Hegemoni kulit putih akhirnya memunculkan garis demarkasi dan polarisasi yang jelas antara hitam dan putih di Afsel. Segregasi lewat politik Apartheid sangat jelas memisahkan hitam dan putih, hingga akhirnya masih terasa meski Apartheid sudah dihapus sejak 1994.

Afsel kini, secara ekonomi, rasanya juga masih dalam kerangka hitam-putih. Afsel termasuk negara paling maju di Afrika, bahkan standar kehidupannya kadang mirip Eropa. Gross domestic product (GDP) Afsel mencapai 287,219 miliar dolar AS per tahun. Sebuah kondisi ekonomi yang cukup mengagumkan.

Namun, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Perbedaan itu sangat jelas terlihat. Bahkan, data statistik menunjukkan, seperempat dari 49.320.000 penduduk di Afsel terhitung pengangguran. Mereka jelas dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan.

Selain itu, tujuh juta lebih warga berstatus homeless alias gelandangan. Mereka tinggal di bekas-bekas kontainer atau di pinggir-pinggir jalan. Bahkan, di Olieventeinhoud terbentang hamparan rumah-rumah dadakan. Ada yang bekas kontainer, ada pula yang membangun dengan bahan seadanya. Ini memang perkampungan warga miskin yang terhitung gelandangan.

Maka, secara kultural pun terkadang terasa hitam dan putih. Di satu sisi, peradaban Afsel begitu maju. Cara hidup dan kehidupan warga Afsel, terutama warga kaya (baik berkulit hitam maupun putih), tak ubahnya kehidupan negara Eropa maju. Ke mana-mana pakai mobil, makan di kafe atau restaurant mahal, pakaian serba rapi dan mahal, dan gaya hidup kelas tinggi. Rumah mereka juga tertata rapi layaknya di Eropa.

Berita Rekomendasi

Namun, di sisi lain, masih terlihat juga gaya hidup serampangan, kehidupan Senin-Kamis. Sebuah kontradiksi yang terkadang amat terlihat.

Jika merasakan budaya di jalanan, rasanya sangat nyaman. Semua orang berkendara dengan rapi dan tertib. Benar-benar standar negara maju. Semua sepertinya sudah tahu bagaimana berkendara dengan baik, tanpa harus dieteriaki atau dibel. Bahkan, orang Afsel jarang menggunakan bel mobilnya, karena memang tak terlalu perlu. Semua berjalan dengan rapi, penuh budaya tinggi.

Namun, di sisi lain masih ada budaya bar-bar. Kriminal begitu tinggi dan bisa terjadi di mana saja dan kapan saa. ATM bisa dibom dan dibawa brankasnya. Jalan-jalan di kota tak pernah merasa aman, karena kejahatan sepertinya selalu mengincar. Sehingga, jarang ada orang jalan-jalan menikmati suasana kota.

Rasa aman yang sangat minim membuat warga Afsel begitu paranoid. Mereka membangun jaringan keamanan di rumahnya yang terkadang sangat berlebihan, seolah negara dalam suasana perang. Tapi, memang kenyataannya sebenarnya negara dalam keadaan perang melawan kriminal.

Secara sosial, ternyata juga masih ada polarisasi. Terutama polarisasi antara kulit hitam dan putih masih terlihat jelas. Di wilayah tertentu masih didominasi kulit putih. Sementara wilayah lain didominasi kulit hitam. Artinya, pembauran yang diharakan pemerintah Afsel masih jauh dari harapan. Garis hitam dan putih warisan Apartheid itu masih ada dan terlihat nyata.

Sinisme hitam-putih jugasering masih terasa. Seorang keturunan Skotlandia kepada Kompas mengatakan dengan sinis, "Lihat itu, apa maksud mereka menari-nari sambil meniup terompet keras-keras," kata pemuda kulit putih itu mengomentari sekelompok pemuda kulit hitam yang menari khas Afrika seusai membela timnas Afsel.

Sebaliknya, orang kulit hitam juga akan sinis terhadap budaya atau keberadaan kulit putih. "Orang kulit putih terkadang masih merasa berkuasa. Mereka masih begitu arogan. Sekarang semuanya sama dan setara. Mereka tak bisa congkak lagi," katanya.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas