Karena Covid-19, KPU Pertimbangkan Pilkada 2020 Ditunda 2021
Akibat terjadinya wabah virus corona, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 pun diambang penundaan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hendra Gunawan
Namun, Arief mengakui, dengan perhitungan empat tahapan tersebut ditunda selama tiga bulan, pelaksanaan pemungutan suara pun akan mundur tiga bulan atau pada Desember 2020.
Akan tetapi, katanya, bulan Desember dirasa masih sangat riskan lantaran belum diketahui secara pasti kapan wabah corona akan berakhir. KPU khawatir, dengan waktu yang tidak pasti, pelaksanaan Pilkada akan kembali mundur.
Demikian pula halnya jika mengambil opsi pelaksanaan pemungutan suara digelar pada Maret 2021. Apalagi terdapat pendapat yang menyebut wabah corona baru akan berakhir pada Oktober 2020.
Sementara, dari seluruh tahapan Pilkada, banyak aktifitas dengan skala besar terjadi sekitar enam bulan sebelum hari pemungutan. Untuk itu, Arief mengakui opsi penundaan Pilkada selama setahun menjadi opsi yang paling masuk akal dibanding opsi lainnya.
"Awalnya kita mau Juni 2021, tapi kalau penundaan berkali-kali dikhawatirkan tidak cukup ruang," kata Arief.
Perppu
Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada untuk menunda pelaksanaan pemungutan suara Pilkada yang seharusnya digelar pada September 2020.
Perppu ini dibutuhkan lantaran tidak memungkinkan menggelar tahapan Pilkada, termasuk pemungutan suara di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 seperti saat ini.
Sementara untuk menunda Pilkada dibutuhkan revisi atas UU Pilkada, terutama Pasal 201 yang menyebutkan secara rinci Pilkada 2020 digelar pada September 2020.
Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pandemi virus corona yang masih terjadi saat ini memenuhi syarat disebut kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat agar Presiden dapat menerbitkan Perppu sesuai Pasal 22 UUD.
Kata dia, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.
Yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum dan kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia.
Hal itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.
Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.