TM Mangunsong dan Tiga Ketua Peradi Desak #2019GantiPresiden Taati Aturan
Fenomena kericuhan antar-warga yang dipicu gerakan #2019GantiPresiden marak terjadi di Tanah Air, seperti Serang, Surabaya, Pangkalpinang, Pontianak d
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Fenomena kericuhan antar-warga yang dipicu gerakan #2019GantiPresiden marak terjadi di Tanah Air, seperti Serang, Surabaya, Pangkalpinang, Pontianak dan Pekanbaru.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Pusat TM Mangunsong dan tiga Ketua DPC Peradi lainnya mendesak elite politik menahan diri, jangan mengadu domba rakyat, serta menaati rule of the game (aturan main).
“Yang pro-ganti presiden adalah rakyat. Yang anti-ganti presiden juga rakyat. Sama-sama rakyat, janganlah diadu domba. Semua harus taat aturan main,” ujar TM Mangunsong dalam rilis bersama Ketua DPC Peradi Jakarta Utara Gerits de Fretes, Ketua DPC Peradi Jakarta Selatan Halomoan Sianturi dan Ketua DPC Peradi Jakarta Barat Berry Sidabutar, Selasa (28/8/2018).
Diksi “ganti presiden”, kata Mangunsong, sudah termasuk materi kampanye, dan mencuri start, karena masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 baru dimulai pada 23 September 2018. “Mereka bisa disangka melanggar UU Pemilu (Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, red),” jelas Managing Partner TM Mangunsong Law Firm and Partner ini.
Baca: Tanggapan KPU Terkait Perihal Pembubaran Deklarasi 2019 Ganti Presiden
Diksi “ganti presiden”, lanjut Mangunsong, juga bisa ditafsirkan inkonstitusional bahkan makar, karena dalam konstitusi tidak dikenal istilah “ganti presiden”, yang ada adalah pemilihan presiden melalui pemilu, yang kemudian menghasilkan presiden terpilih, dan yang terpilih bisa saja petahana Presiden Joko Widodo.
“Jika presiden terpilih adalah Jokowi, atau dengan kata lain Jokowi terpilih kembali, apa lantas mereka tak mau terima? Di sinilah persoalannya, sehingga #2019GantiPresiden tak tepat menjadi slogan, karena dapat dimaknai seolah memaksakan kehendak harus ganti presiden. Bila per 1 Januari 2019 presiden harus diganti, itu namanya makar, karena pilpres baru digelar 7 April 2019. Sebab itu, gerakan #2019GantiPresiden harus dihentikan,” jelas Ketua Umum Koalisi Masyarakat Penggerak Good Governance (Kompagg) ini.
Deklarasi #2109GantiPresiden, diakui Gerits de Fretes, adalah hak warga negara dalam berpendapat di negara demokrasi seperti Indonesia, bahkan kebebasan berserikat dan berkumpul pun dijamin konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
“Kebebasan berpendapat implementasinya diatur dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. Namun kebebasan tersebut haruslah tidak menabrak ketentuan yang ada, dan harus tetap dalam koridor hukum. Kebebasan tak boleh sesuka hati. Kebebasan dibatasi oleh tanggung jawab, dan tanggung jawab itu secara hukum, karena Indonesia adalah negara hukum,” tutur Gerits.
Sebab itu, Halomoan Sianturi menambahkan, pihaknya meminta para elite politik untuk menahan diri, jangan sampai rakyat menjadi korban atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. “Kalau di lapangan terjadi bentrokan, siapa yang jadi korban? Rakyat, bukan elite politik yang menggerakkan mereka,” cetusnya.
Halomoan juga memahami posisi Polri yang dilematis. “Kalau dilarang bisa dituduh berpihak ke kubu yang kontra, kalau diizinkan bisa dituduh berpihak ke kubu yang pro-ganti presiden,” tukasnya.
Menghadapi dilema itu, Halomoan menyarankan Polri berpegang teguh pada profesionalisme dan independensinya, sesuai amanat UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 menjelaskan tugas pokok Polri adalah memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,” urainya.
Lebih jauh Berry Sidabutar menjabarkan, Polri bisa membubarkan suatu kegiatan bila hal itu berdasarkan kajian kepolisian berpotensi menimbulkan gangguan kamtibmas, apalagi bila potensi itu menjurus ke chaos (kerusuhan). “Polri harus proaktif, tak boleh ragu. Kalau memang ada yang melanggar hukum, harus ditindak, tak perlu lihat dari kubu mana,” tegasnya.
“Independensi Polri tak berarti polisi sekadar menjadi penonton. Kalau memang berdasarkan analisis Polri suatu kegiatan berpotensi chaos, polisi berhak bahkan harus mencegah atau membubarkannya. Kalau chaos, polisilah yang disalahkan. Apalagi gerakan itu ada unsur pelanggaran hukumnya,” sambung Berry.
Soal gerakan #2019GantiPresiden diinisiasi oleh elite-elite politik dari kubu oposisi, seperti Partai Gerindra, PKS dan PAN, dan yang menentang adalah kubu petahana, Berry tak mau berpolemik soal itu.
“Siapa pun dan dari kubu mana pun yang menyebabkan terganggunya kamtibmas, atau melanggar hukum, harus ditindak, karena Indonesia adalah negara hukum yang menganut prinsip equality before the law (kesetaraan di muka hukum). Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tandasnya.