Bagaimana Kerja Para ''Penyebar Propaganda'' Pilpres yang Bikin Media Sosial bak Medan Perang?
Terkait Pilpres dan Pileg 2019, Andi menuturkan, pemain buzzer umumnya melanjutkan pekerjaan sejak Pilgub DKI Jakarta tujuh tahun silam.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden akan diselenggarakan serentak dua bulan lagi, 17 April mendatang.
Semakin mendekati waktunya, atmosfer politik nasional kian panas.
Buzzer media sosial yang marak kerap dianggap sebagai penyebar berita bohong (hoaks) atau berita palsu (fake news), turut meningkatkan polemik di dunia maya.
Tahukah anda sebagian buzzer dibayar mencapai ratusan juta rupiah?
"Dapat uang masing-masing Rp 100 juta minimal untuk bos-bosnya. Bisa lebih. Mereka proyekan sampai pilpres selesai," ungkap Andi, seorang buzzer profesional yang mendapat order pada pilpres 2019 saat ditemui Tribun Network di kawasan Bekasi, Jawa Barat, pertengahan Februari 2019.
Para buzzer akan mengelola akun media sosial, lalu membuat konten serta menyebar melalui akun-akun tersebut.
Baca: Sebelum Terbang ke Tokyo, Adik dan Ibunda Syahrini Buka Suara
Kata kunci dan hal terpenting bagi buzzer adalah menjalankan tugas sesuai order lalu melaporkan kepada pemesan.
Jumlah akun dan seberapa luas sebaran informasi tidak sedemikian perlu.
Bahkan berita bohong atau benar, bukan persoalan.
"Hoaks atau tidak, mereka tidak peduli, yang penting sudah kerja," ujar Andi.
Saat ditemui, Andi mengenakan kaos dan celana panjang bahan berwarna hitam.
Sembari duduk di kursi panjang, suaranya mulai pelan, badannya mulai condong ke arah jurnalis Tribun, seperti berbisik, saat mengungkap dana yang diterima para bos buzzer.
Sistem pembayaran dan besarnya upah buzzer diklasifikasi berdasarkan tingkatan.
Setingkat supervisor akan dibayar Rp 7 juta per bulan, disertai fasilitas kos atau kontrakan serta uang pulsa.