Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bagaimana Kerja Para ''Penyebar Propaganda'' Pilpres yang Bikin Media Sosial bak Medan Perang?

Terkait Pilpres dan Pileg 2019, Andi menuturkan, pemain buzzer umumnya melanjutkan pekerjaan sejak Pilgub DKI Jakarta tujuh tahun silam.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Bagaimana Kerja Para ''Penyebar Propaganda'' Pilpres yang Bikin Media Sosial bak Medan Perang?
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Pengguna media sosial mengakses akunnya untuk mencari informasi dan hiburan, Jakarta, Rabu (20/2/2019). 

Buzzer akan berpromosi secara terus-menerus melalui akun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, tulisan (mikroblog) hingga video blog (vlog).

Buzzer biasanya mempunyai tarif, bukan gratisan. Semakin banyak followernya atau bisa juga influence dan engagementnya bagus, bisa kian mahal harganya.

Terkait tahun politik, para buzzer banyak menerima tawaran politik. Misalnya mempromosikan dan mendukung capres 01 atau capres 02, atau partai politik, atau calon legislatif.

Maraknya buzzer politik yang muncul belakangan ini menyebabkan istilah buzzer seakan-akan berkonotasi negatif.

Padahal tidak demikian adanya. Buzzer juga banyak yang berperan positif.

Bukan Capres 

Terkait adanya jasa buzzer, tim sukses dua pasangan calon presiden mengatakan tidak terlibat, termasuk dalam hal pendanaan.

BERITA REKOMENDASI

Ketua Gugus Tugas Kampanye Direktorat Program Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Garda Maharsy menjelaskan, pihaknya tidak mendanai buzzer secara profesional di luar dari tim pemenangan.

Garda mengatakan orang yang dipekerjakan secara profesional adalah orang-orang yang ada di balik akun resmi tim pemenangan TKN yang sudah terdaftar.

Di luar itu, tidak ada alokasi dana.

"Saya rasa tidak ada. Kami juga tidak pernah menyewa tim buzzer mana pun dari luar," katanya.

Namun Garda menduga bisa saja hal tersebut dilakukan relawan dan masyarakat yang memiliki kecintaan dengan pasangan calon Jokowi-Maruf.


Para relawan tersebut, dibebaskan untuk mencari dana secara mandiri dalam melakukan gerakannya.

"Kalau ada relawan yang mau, ya silakan. Tapi, kalau dana dari kami tidak ada," ucapnya.

Hal senada dikemukakan Wakil Ketua Direktur Informasi dan Teknologi Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno, Vasco Rusemy.

Ia membantah seluruh anggapan tentang pihaknya menyewa buzzer profesional.

Menurutnya, pembela Prabowo-Sandiaga murni atas dasar kecintaan terhadap pasangan tersebut. Tidak ada yang dibayar BPN.

"Tidak ada yang kami bayar. Perjuangan mereka murni atas dasar kecintaan terhadap pasangan Pak Prabowo-Sandiaga," kata Vasco.

Bekerja Pakai Target

Meskipun tim buzzer tidak memilah-milah informasi yang akan disebarnya berdasar fakta kebenaran ataukan bohong, dalam kerja, penilaiannya akan kinerja cukup ketat.

Buzzer yang tidak mendapatkan respon dari akun warga net (netizen), setidaknya sebanyak 20 akun lain dan terulang hingga lima kali, maka ia dianggap gagal dan akan sanksinya diberhentikan.

Begitu juga dengan buzzer yang tidak memenuhi kuota untuk mengunggah konten.

"Kalau akunnya dihapus oleh Twitter atau Facebook, biasanya masih bisa diakali. Tapi kalau sudah tidak produktif, ya dipecat langsung. Mandornya akan cari yang lain," tutur Andi.

Mengenai siapa penyandang dana, Andi meminta untuk tidak dikutip nama jelasnya.

Ia mempersilakan Tribun Network untuk memberi rujukan atau clue nama besar dari partai politik, pendukung kedua calon presiden.

Mereka yang ikut turun tangan dalam pertarungan udara memiliki jabatan penting di partai politik seperti ketua DPP, wakil sekjen, hingga ketua partai tingkat daerah.

Tidak jarang, mereka yang membayar berprofesi sebagai pengusaha yang bersedia menggelontorkan dananya kepada relawan dan tim udara yang sudah dibentuk sebelumnya.

"Dana dari pengusaha, masuknya ke relawan atau ke bos buzzer langsung," ucapnya.

Tidak semua buzzer bekerja atas imbalan uang. Ada juga sukarela atas dasar kepentingan ideologis.

Rama, bukan nama sebenarnya, misalnya, mendalami politik pasca-Pilpres 2014.

Ia kemudian tertarik menuangkan isi pemikirannya melalui media sosial. Ia lalu terhubung kepada seseorang petinggi partai politik.

Status sebagai simpatisan dan kader partai lantas menjadikannya buzzer bagi partai.

"Saya mulai aktif sebagai buzzer pada 2017, ketika Pilkada DKI Jakarta. Saat itu sebatas mengedit teks, dan setelah itu membuat konten, narasi, meme, dan posting ke medsos," ujar Rama saat ditemui Tribun Network di Depok, Jawa Barat, Sabtu (16/2/2019).

Adapun konten buatannya yakni menyerang Gubernur DKI Jakarta saat itu, dan membeber keburukan pemerintah secara lebih luas.

"Saya enggak pernah didikte sama orang partai. Yang penting saya menyerang Axxx dan rezim dengan jalan seperti itu," lanjutnya.

Rama mengatakan kegiatannya sebagai buzzer yang dilakukannya sejak dulu tidak sepenuhnya mengarah ke Pilpres.

"Instruksi dari atas, enggak mau kami terlalu fokus ke Pilpres. Kami serang rezim, kami angkat citra partai, menangkan partai di Pileg," kata Rama.

Sejak menekuni pekerjaan buzzer politik bagi parpol, Rama tidak pernah mendapatkan bayaran uang.

"Kami itu bekerja secara ideologis. Dari awal memang diseleksi siapa yang cocok untuk terjun ke pekerjaan ini, istilahnya di-brainstorm," kata Rama.

Memang pada berbagai kesempatan, dia dan tim pernah mengajukan proposal anggaran ke pusat.

Akan tetapi, anggaran proposal itu ditujukan lebih kepada pengadaan peralatan untuk menunjang pekerjaan mereka, dan peralatan tu pun harus dikembalikan lagi pada waktu-waktu tertentu.

"Jadi begini, sebenarnya ... (menyebut nama partai--Red) itu secara organisasi hampir mau kolaps di finansial. Hanya di personal-personal enggak ada yang kolaps, mereka kaya semua. Makanya dari awal, kalau mau jadi buzzer di ... (nama partai, Red) itu kesepakatan ide, bukan kesepakatan transaksi," ujar Rama.

Penyandang Dana

Tribun menghubungi seorang pengusaha yang menyumbangkan dana kepada pasukan udara pasangan calon. Namanya Dwi, pengusaha alat kesehatan yang bertempat tinggal di Jakarta.

Dwi mengaku sudah ikut mendanai pasukan udara sejak Pilpres 2014.

"Sudah ikut sejak 2014. Saya juga kenal dengan beberapa relawan," katanya.

Dia menyebut angka Rp 2 miliar yang disumbangkan saat itu.

Untuk pilpres 2019, Dwi tidak banyak membantu seperti yang dilakukan sebelumnya. Kontribusi dia hanya memberi semampunya.

Pasalnya, bisnis yang dijalani, sedang mengalami penurunan.

"Bisnis saya sedang tidak terlalu baik. Tapi, saya tetap memberi semampunya saja," kata dia.

Pada pilpres kali ini, Dwi tidak terlalu banyak memberikan dana, tetapi, ia memiliki teknologi yang dibuatnya sendiri dan dapat dimanfaatkan tim pemenangan.

Terutama untuk meningkatkan kerja ponsel dan komputer jinjing yang dipakai para Buzzer dan relawan.

Detail teknologi yang dibuatnya, masih belum dapat dibeberkan.

"Saya belum bisa jabarkan. Tim pemenangan meminta saya untuk tidak terlalu banyak membahas soal ini ke siapa pun," ungkapnya.

Alasan dia ingin terlibat dalam kegiatan itu, tidak lain karena ingin melihat pasangan calon yang ia dukung untuk menang.

Ia mengatakan tidak ada alasan pragmatis yang menggugah dirinya.

"Tidak. Tidak ada, saya ikhlas untuk bantu atas dasar saya memang suka dengan calon ini," lanjutnya.

Ia pun tidak berharap banyak adanya timbal balik dari calon yang ia dukung ketika terpilih.

Beberapa proyek di bidang IT dan teknologi akan tetap dilakukannya di kemudian hari, baik calon itu terpilih atau tidak. (amriyono/reza deni)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas