Bagaimana Kerja Para ''Penyebar Propaganda'' Pilpres yang Bikin Media Sosial bak Medan Perang?
Terkait Pilpres dan Pileg 2019, Andi menuturkan, pemain buzzer umumnya melanjutkan pekerjaan sejak Pilgub DKI Jakarta tujuh tahun silam.
Editor: Malvyandie Haryadi
Kemudian, buzzer yang berada di tingkatan mandor dibayar Rp 3 juta per bulan.
"Untuk kasta terendah itu Rp 300 ribu. Kalau untuk customize, per hari Rp 100 ribu. Orang-orang ini dibayar karena rajin online. Tugasnya hanya untuk menyebar konten," kata Andi.
Andi masuk buzzer sejak tahun 2011 untuk misi mengawal calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
Ia kemudian turun gelanggang dunia medsos juga pada Pilkada Jakarta 2017, dan Pilpres 2019 ini.
Menurutnya, terdapat empat bos besar yang dia kenali dan bermain di dunia maya. Keempat orang tersebut adalah, berinisial, YP, W, NS dan P.
Mereka memiliki ribuan pengikut di akun Twitter dan Facebook.
"Ada yang ahli IT, ada yang orang partai juga, ada yang memang didikan Buzzer salah satu partai politik," ujar Andit.
Terkait Pilpres dan Pileg 2019, Andi menuturkan, pemain buzzer umumnya melanjutkan pekerjaan sejak Pilgub DKI Jakarta tujuh tahun silam.
"Semuanya orang lama dari Pilkada Jakarta 2012. Sekarang, mereka ikut lagi dengan mendukung pasangan yang berbeda-beda," ucap Andi, pria berjenggot ini.
Saat ini, Andi sedang bekerja di salah satu tim pemenangan. Ia enggan menyebut capres yang didukung.
Namun dia menjelaskan, akun-akun politik sering menyertakan medsosnya dalam perdebatan.
Ruli, koordinator tim Buzzer dari tim pemenangan satu calon presiden, mengaku cukup kerepotan menghadapi militansi buzzer dari salah satu partai politik pengusung pasangan calonnya.
Seringkali buzzer dari parpol tersebut, tidak menempuh tabbayun atau cek dan ricek mengenai konten yang disebar.
"Ya gitu. Militansi yang lebih sering merepotkan. Mereka jarang ngecek soalnya," kata Ruli.