Soroti Debat Cawapres, CSIS: Masih Banyak Akar Masalah yang Belum Terungkap
Sama halnya di debat soal pendidikan, paslon juga belum menghadirkan solusi yang jelas dalam masalah kesehatan
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Debat Cawapres paslon 01 Ma’ruf Amin dengan paslon 02 Sandiaga Uno yang diselenggarakan KPU pada Minggu (17/3/2019) malam sebagian besar masih bersifat normatif dan belum banyak menyentuh akar masalah.
Sesuai dengan tema yang mengangkat isu Pendikan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Sosial Budaya, debat ditargetkan bisa memberikan gambaran kepada masyarakat tentang berbagai masalah yang meliputi empat sektor tersebut, dan bagaimana kedua paslon mencarikan solusinya.
Dalam Diskusi Seri Pemilu yang diselanggarakan oleh Centres for Strategic and International Studies (CSIS) yang menghadirkan pembicara pemerhati pendidikan Doni Koesoema A, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI Teguh Dartanto, Peniliti Senior CSIS Haryo Aswicahyono, Pengamat Sosial Budaya, Vokasi Universitas Indonesia Devie Rahmawati dengan moderator Mari Elka Pangestu, terungkap bahwa masih banyak akar masalah yang belum terkuat apakah karena waktu yang terbatas maupun memang tidak menjadi fokus para cawapres.
Di bidang pendidikan, menurut Doni, ada beberapa akar masalah yang seharusnya terungkap dalam debat sehingga masyarakat dapat menilai secara lebih baik kedua paslon. Dalam soal riset misalnya, meskipun kedua paslon membicarakannya, tapi persoalan yang terungkap masih sebatas soal dana dan koordinasi.
Padahal, menurut Doni, salah satu akar masalah kurang berkembanganya riset di Indonesia terkait dengan kurikulum dasar pendidikan yang tidak mendorong orang untuk menghargai kegiatan riset.
“Harusnya, paslon berbicara bagaimana konteks evaluasi dan penilaian secara menyeluruh, dari SD sampai PT. Baru cari solusi terbaik yang utuh dan menyeluruh agar pengembangan minat dan bakat menjadi jelas, tidak seperti yang berlangsung selama ini,” kata Doni, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/3/2019).
Doni juga menyoroti wacana menghapus Ujian Nasional (UN).Menurut dia, ini adalah gagasan lama, dan tidak terealisasi sampai saat ini karena tidak ada jurus-jurus yang jelas untuk menerapkannya. Pengalaman menunjukkan, keinginan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy untuk melakukan moratorium UN saja gagal.
“UN memang harus dihapuskan. Tapi alasannya bukan karena biaya tinggi, melainkan karena secara pedagogis tidak kondusif bagi pengembangan pembelajaran otentik. Namun, solusinya bukan dengan pengembangan minat dan bakat, perlu ada link and match dengan apa yang dibutuhkan Perguruan Tinggi dalam menyeleksi siswa, disertai perubahan sistem kebijakan penilaian yang lebih pedagogis dan strategis fokus pada penilaian formatif. Masalah lain, ide ini akan berhadapan dengan UU Sisdiknas dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan yang tetap mewajibkan Negara melakukan evaluasi eksternal,” katanya.
Sama halnya di debat soal pendidikan, paslon juga belum menghadirkan solusi yang jelas dalam masalah kesehatan. Menurut Teguh Dartanto, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah luas cakupannya dengan 218 juta jiwa yang tercatat, telah menyelamatkan 1,2 juta orang dari kemiskinan serta 15 juta orang miskin terlindungi dari garis kemiskinan, dan mengurangi prevalensi stunting sebesar 10 persen.
Baca: Dakwaan Lengkap, Jaksa Siap Hadirkan Puluhan Saksi Kasus Ratna Sarumpaet
Namun kedua kandidat hanya fokus pada isu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), stunting,dan pentingnya upaya preventif dan promototif, bukan saja kuratif. Dari debat juga terungkap program dari kedua paslon tidak mempunyai perbedaan yang mencolok.
Paslon 01 mencoba menjawan isu secara keseluruhan, tapi masih normatif. Sementara paslon 02 fokus terhadap isu kesenimbangun program JKN, dan jaminan seluruh masyarakat untuk mendapatkan akses yang baik.
Kedua paslon tidak menyebut isu imunisasi, pergeseran penyakit ke penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung, dan perilaku beresiko seperti merokok.
Namun, jika isu imunisasi tidak diatasi, maka di masa yang akan datang Indonesia tetap dapat menghadapi penyakit menular, bukan saja penyakit tidak menular seperti trend di negara-negara lain.
Atau dalam arti lain menghadapi double burden of disease. Keduanya juga tidak membahas isu peran pemerintah daerah dalam isu kesehatan, padahal berdasarkan UU Kesehatan, Pemda harus mengalokasikan 10 persen dana APBD untuk program kesehatan, dan pemerintah pusat 5 persen APBN.