Pemerintah Ungkap Alasan Larangan Penayangan Hasil Survei pada Masa Tenang Pemilu
Rencananya, pada hari Jumat ini para pihak akan menyerahkan kesimpulan kepada Ketua MK, Anwar Usman.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Litigasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Ardiansyah, mengungkapkan pengaturan larangan pengumuman hasil survei hasil pemilu pada masa tenang bukan untuk membatasi informasi terkait elektabilitas bagi kontestan pemilu ataupun masyarakat.
Menurut dia, upaya pengaturan dilakukan agar penyelenggaraan pemilihan umum dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya asas-asas pemilihan pemilu sebagaimana ditentukan oleh konstitusi akan tercapai secara baik.
Hal ini diungkapkan pada saat memberikan keterangan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/4/2019). Perkara teregistrasi dengan nomor 24/PUU-XVII/2019 dan 25/PUU-XVII/2019.
Dia menjelaskan, pengumuman perkiraan hasil penghitungan cepat pemilu dilakukan paling cepat 2 jam setelah pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Baca: Prabowo Pindahkan Pidato Kebangsaan dari Malang ke Surabaya, Ini Alasannya
Pengaturan mengenai hal ini dilakukan karena adanya perbedaan waktu antara Indonesia barat, tengah, dan timur, sehingga selesainya pelaksanaan pemilu tidak bersamaan.
"Diharapkan dengan adanya pengaturan ini, hasil penghitungan suara cepat yang diumumkan lebih akurat karena proses pemilu di semua wilayah telah selesai,” kata Ardiansyah, seperti dilansir laman MK, Jumat (12/4/2019).
Sehingga, menurut pemerintah, kegiatan survei dilakukan oleh lembaga survei di masa tenang dapat mengganggu ketertiban umum dan oleh karena itu relevan jika semua pihak melakukan pelanggaran pemilu diberi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang Pemilu.
Dia menjelaskan, menurut pemerintah, ketentuan-ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang adil terhadap penyelenggaraan pemilihan umum secara keseluruhan dan karenanya ketentuan a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi.
"Dengan perkataan lain, ketentuan yang dimohonkan untuk diuji hanya terkait dengan masalah tanggal waktu saja dan tidak terkait dengan masalah konstitusional keberlakuan undang-undang a quo,” ungkapnya.
Rencananya, pada hari Jumat ini para pihak akan menyerahkan kesimpulan kepada Ketua MK, Anwar Usman.
Adapun, sidang selanjutnya akan dijadwalkan pada Selasa, 16 April 2019 dengan agenda putusan.
Untuk diketahui, pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.
Pemohon beralasan, dengan dihidupkannya kembali frasa “larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang” dan “pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat” beserta ketentuan pidananya dalam UU Pemilu, maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.
Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya. Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.