Profil HICON Law & Policy Strategic, Badan Konsultan Hukum yang Dipilih Hadapi Sengketa Hasil Pemilu
Profil HICON Law & Policy Strategic, salah satu badan konsultan hukum yang dipilih untuk menghadapi hasil sengketa hasil Pileg serta Pilpres 2019.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Fathul Amanah
Puguh memaparkan karakteristik strategi kampanye antara paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno serta Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
"Tim kampanye Prabowo-Sandi cenderung menggunakan strategi agresif, sedangkan tim Jokowi-Ma'ruf lebih memilih strategi menunggu," ujar Puguh.
Baca: KPU Tunjuk 5 Badan Konsultan Hukum Hadapi Sengketa Hasil Pilpres dan Pileg 2019 di MK
Pertarungan Jokowi vs Sandiaga Uno
Selain itu, pada Pilpres 2019 ini, HICON menganggap pemilu ini justru menjadi ajang pertarungan antara Joko Widodo dan Sandiaga Uno.
Menurut Direktur HICON Hifdzil Alim seperti yang dilansir oleh Tribun Jogja, indikasi tersebut terlihat dari latar belakang keduanya.
"Secara finansial keduanya luar biasa, apalagi mereka sama-sama pengusaha," jelas Hifdzil di Ling Lung Cafe, Selasa (18/12/2018).
Hifdzil juga mengamati bahwa Sandiaga berusaha mengkloning pola kampanye Jokowi, dengan cara berkunjung ke pasar hingga ke pesantren.
Menurutnya, usaha yang dilakukan Sandiaga cukup membantu mengerek elektabilitas pasangan nomor 2 tersebut.
"Meski ada sejumlah insiden kontroversial, namun usaha Sandiaga terbilang berhasil," kata Hifdzil.
Kepala Departemen Politik HICON Puguh Windrawan memperkirakan tim kampanye kedua paslon akan semakin sering turun ke lapangan alias blusukan.
Puguh juga menilai tim kampanye Prabowo-Sandi akan lebih gencar membuat konsentrasi massa, seperti gerakan 212.
"Pola tersebut terbukti turut meningkatkan elektabilitas paslon," kata Puguh.
Praktek Politik Uang dan Isu SARA Masih Jadi Andalan Kampanye Pilpres 2019
Sperti yang dilansir oleh Tribun Jogja, HICON Law & Policy Strategic mengklaim bahwa praktek politik uang dan isu SARA dalam kampanye Pilpres 2019 masih jadi andalan.
Kepala Departemen Hukum HICON Allan Wardhana bahkan menyatakan kedua praktek tersebut sudah menjadi lumrah bagi publik.
"Berdasarkan survey LIPI, publik terkesan permisif terkait politik uang," kata Allan di Ling Lung Cafe, Selasa (18/12/2018).
Dari informasi yang dihimpun Tribunjogja.com, survey tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat yang menerima uang dari kampanye justru cenderung tidak memilih pasangan calon (paslon) yang dikampanyekan.
Selain itu, isu SARA yang terus digulirkan oleh tim kampanye kedua paslon justru membuat publik jengah. Akibatnya, kecenderungan untuk menjadi golput semakin kuat.
"Padahal keduanya memiliki program kerja yang bagus, tetapi strategi tim kampanye dengan isu SARA menimbulkan kesan mereka tidak percaya diri dengan program yang diusung," papar Allan.
Allan juga menyoroti regulasi hukum yang lemah dalam menindak kedua praktek tersebut, terutama dalam UU Pemilu.
Ia bahkan menyebut UU Pemilu justru menunjukkan kemunduran ketimbang UU Pilkada.
"Kalau di UU Pemilu, penindakan praktek politik uang hanya bagi pemberi. Sedangkan di UU Pilkada baik pemberi dan penerima juga ditindak," ujar Allan.
Allan pun berharap instansi terkait seperti KPU dan Bawaslu bergerak aktif dalam menindaklanjuti kasus-kasus dalam masa kampanye Pilpres.
Ia juga berharap agar publik bersikap proaktif.
Satu di antaranya dengan melaporkan ke Bawaslu jika terjadi pelanggaran kampanye.
"Bawaslu sendiri saat ini sudah melibatkan mahasiswa agar partisipatif dalam mengawasi jalannya masa kampanye," kata Allan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie, Danang Triatmojo/TribunJogja.com)