Kisah Dibalik Masjid Jami Matraman, Tempat Soekarno Salat Jumat Usai Bacakan Teks Proklamasi
Di mana Masjid ini menjadi saksi bisu digelarnya sholat Jumat pertama setelah Indonesia merdeka
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian masjid di Ibu Kota memiliki sepengal kisah sejarah yang kini lambat laun justru kisah-kisah tersebut mulai menghilang.
Era moderen membuat cerita-cerita sejarah di masa lampau mulai ditelan dengan sejarah moderen saat ini.
Baca: Lorong Gelap Nan Sempit di Masjid Seribu Pintu untuk Ingatkan Umat Tentang Kematian
Salah satunya masjid yang masih menyimpan sejarah Jakarta dan menjadi saksi bisu perebutan ibu Kota Batavia yaitu masjid Jami Matraman.
Terletak di pinggiran kota Jakarta, Masjid ini masih berdiri tegak seakan kokoh dengan cerita-cerita sejarah didalamnya.
Walau namanya Masjid Jami Matraman, masjid ini bukan terletak di kawasan Matraman Jakarta Timur, namun Masjid ini terletak di Jalan Matraman Masjid, Pengangsaan, Menteng, Jakarta Pusat.
Setiap harinya masjid yang bercat putih ini, selalu ramai bagi warga sekitar maupun warga luar yang ingin beribadah di masjid tersebut.
Ditambah dengan hadirnya para penjual perlengkapan ibadah seperti peci dan sarung menambah islaminya Masjid Jami Matraman.
Ketua Yayasan Masjid Jami Matraman H. Surahman mengatakan bahwa dahulu dibangunnya masjid ini bukan di jadikan sarana tempat ibadah, melainkan sebagai tempat perkumpulan prajurit islam.
Karena letak Tugu Proklamasi saat itu terlampau jauh membuat bangunan yang sebelum beralih menjadi Masjid tersebut dijadikan tempat berkumpul sekaligus Musala bagi para prajutit islam untuk menunggu komando saat akan perang.
"Dulunya belum masjid masih Musala dan tempat perkumpulan prajuti islam, selanjutnya dibangun oleh prajurit Mataram yang dikirim oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berupaya merebut Batavia (Jakarta) dari Belanda," kata Surahman, Minggu (27/5/2018).
Dijadikannya Masjid sendiri berawal ketika Sultan Agung merombak bangunan yang kala itu sebagai musala yang terbuat dari bambu dan bilik-bilik menjadi bangunan permanen.
Kemudian Sultan Agung meminta bantuan kepada keluarga Sunan Kalijaga untuk proses pembangunannya. Alhasil dirubahlah musala tersebut menjadi bangunan permanen yang lebih besar.
"Sejak saat itulah bangunan masjid akhirnya di bangun dan berdiri hingga saat ini," ucapnya.
Berjalannya waktu bangunan tersebut akhirnya difokuskan menjadi sarana ibadah. Bahkan ketika dijadikan sarana ibadah sebagian prajutrit memutuskan untuk tinggal dan menjadi pendakwah.