Mutiara Ramadan: Islam Indonesia
Andaikan dulu para pembawa Islam sikapnya seperti itu, pasti nusantara ini tidak menjadi kantong umat Islam seperti sekarang ini.
Editor: Dewi Agustina
Dengan berkembangnya zaman, peran kota pantai merosot.
Pusat perdagangan dan keislaman serta industri tumbuh pesat di kota pedalaman.
Terlebih dengan kemajuan transportasi pesawat terbang, maka perkembangan kota pantai jauh ketinggalan.
Pengaruh Islam mudah dijumpai sejak dari dari Aceh sampai Papua.
Namun sebaliknya, ekspresi keislaman di Indonesia juga sangat dipengaruhi dan diperkaya oleh sekian ragam adat, tradisi dan bahasa yang berkembang di Indonesia.
Fakta ini membuat muslim di Indonesia menjadi unik dan memiliki karakter tersendiri.
Antara lain keberagamaan yang toleran dan menghargai tradisi lokal.
Sebagian orang mengatakan itu bid'ah dan pendangkalan agama, namun sebagian lagi mengatakan itulah kekayaan budaya muslim Indonesia yang mampu mengakomodasi tradisi lokal tanpa merusak prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Yang paling fenomenal dan historis adalah pembentukan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sebuah pertemuan dan kompromi antara Islamisme, nasionalisme dan modernisme.
Meski umat Islam sebagai warga negara mayoritas, dan sederet nama pejuang kemerdekaan adalah tokoh-tokoh Islam, tapi Indonesia menganut paham demokrasi (republik), bukan negara Islam (Islamic State) di mana negara tetap peduli terhadap pembinaan kehidupan beragama yang dipayungi oleh Pancasila dan dilindungi oleh UU.
Ini merupakan jalan tengah (middle path), sebuah ijtihad dan eksperimentasi sejarah yang tidak memperhadapkan antara keislaman dan kebangsaan, antara Islamisme dan nasionalisme.
Pancasila merupakan landasan bersama (kalimatun sawa') untuk mengakomodasi dan melindungi keragaman etnis, agama dan kepercayaan penduduk nusantara yang sangat plural ini, dimana semua warga negara memiliki kedudukan sama di depan hukum.
Secara normatif-ideologis nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pancasila, yang memiliki akar kultural-filosofis ke masa lalu dan hidup dalam masyarakat, namun sekaligus juga visioner menatap dan menjangkau masa depan.
Lebih dari itu, Pancasila juga memiliki rujukan atau sumber transendental, sebagaimana tertera dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.