Mutiara Ramadan: Makna Lapar Saat Puasa
Meski berbeda-beda siklus rasa lapar setiap individu, secara umum laparnya orang berpuasa (shaum) itu berbeda dengan laparnya orang tidak berpuasa.
Editor: Dewi Agustina
KH Cholil Nafis Lc MA PhD
Ketua Komisi Dakwah MUI
SETIAP orang yang berpuasa pasti merasa lapar. Namun masing-masing memiliki pengalaman rasa yang berbeda-beda.
Ada orang yang merasa lapar saat pagi, sekira pukul 09.00-11.00.
Ada yang perutnya terasa perih saat siang, sekira pukul 12.00-14.00.
Ada juga yang merasa begitu lemas saat pukul 16.00-18.00 (menjelang berbuka).
Perbedaan rasa lapar setiap orang tergantung dari kebiasaan (habit) makan dan minum setiap hari.
Ada yang biasa santap pagi (sarapan). Ada yang tidak biasa sarapan. Ada yang menghindari makan siang.
Ada pula yang tidak mau makan sore/malam karena alasan khusus, dan lain-lain.
Sementara saat berpuasa, haus dan laparnya sepanjang hari, sehingga pengalaman setiap orang berbeda-beda.
Meski berbeda-beda siklus rasa lapar setiap individu, secara umum laparnya orang berpuasa (shaum) itu berbeda dengan laparnya orang tidak berpuasa.
Benarkah? Bukankah lapar karena tidak mendapat asupan makanan sama saja rasanya?
Setiap orang pasti pernah merasakan bagaimana rasanya lapar saat telat makan.
Perut benar-benar melilit dan emosi tidak stabil.
Baca: Hadang Wacana People Power ala Amien Rais, TKN Jokowi-Ma'ruf Siapkan Gerakan Tandingan
Saat seperti ini jangan sekali-kali membuat masalah karena bisa jadi emosi tidak terkendali.
Kondisi lapar bisa membuat orang menjadi tidak terkontrol.
Betapa banyak orang yang tega menyakiti atau membunuh orang lain karena dalam kondisi lapar.
Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits berpesan kepada juru adil (hakim) agar tidak memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah.
Karena orang yang sedang marah sangat mungkin memutuskan perkara secara tidak adil.
"Janganlah seseorang mengadili dua orang yang bertikai sementara dalam keadaan marah." (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Syafi'i ra berkata dalam kitabnya al-Umm (6/199), "Marah dapat mempengaruhi akal dan pemahaman."
Keadaan apa saja yang dirasakan seseorang dapat mempengaruhi akal dan pemahamannya, maka pada saat itulah seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara.
Jika ia merasakan sakit, lapar, cemas, sedih atau senang yang berlebihan akan mempengaruhi pikiran.
Nah, satu di antara penyulut kemarahan seseorang dipengaruhi oleh perutnya yang kosong.
Namun, bukan berarti saat memutuskan perkara seorang hakim dilarang berpuasa yang pastinya juga lapar.
Lalu apa perbedaan lapar karena telat makan dengan lapar karena puasa?
Letak perbedaannya ada pada "niat" (intention) yang harus dilakukan sebelum terbit fajar.
Niat adalah "nutrisi" spiritual bagi orang yang berpuasa. Dalam psikologi, niat menjadi kekuatan bagi tubuh.
Tak Pernah Kenyang
Niat dari hati dan pikiran, lalu menjalar ke seluruh sistem sel tubuh yang akan memberi kekuatan dari tarikan haus dan lapar.
Dalam psikologi, niat disebut juga motif yang kemudian mewujud dalam sikap dan perilaku seseorang.
Menurut Winkel (1996), motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu demi mencapai suatu tujuan.
Ada juga yang mengatakan motif adalah suatu keadaan, kebutuhan, atau dorongan dalam diri seseorang, disadari atau tidak yang membawa kepada terjadinya suatu perilaku.
Imam Ibnul Qayyim berkata, "Niat adalah ruh amal, inti, dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak." (I'lamulMuwaqqi'in VI/106).
Karena itu, dalam berpuasa niat menjadi satu hal yang wajib dilakukan.
Tanpa niat, puasa tidak sah karena tidak memiliki motif spiritual untuk Allah SWT.
Karenanya, saat kita telah niat berpuasa, saat bersamaan telah meneguhkan tekad untuk menjauhkan larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya.
Janganlah berpuasa hanya terasa lapar dan haus tanpa bekal batin apapun.
Kondisi lapar saat berpuasa mengandung pesan agar kita selalu "menyisakan rasa" untuk memahami saudara-saudara kita yang kesusahan setiap harinya.
Perut yang selalu kenyang akan membuat alat percernaan kita tidak pernah berhenti untuk bekerja.
Kondisi perut penuh (kenyang) tanpa henti akan rentan terhadap munculnya berbagai penyakit, dan tanpa disadari membentuk sikap dan perilaku buruk.
Nabi Muhammad SAW ternyata dalam keseharian tak pernah merasakan kenyang.
Kesaksian istri tercintanya, Siti Aisyah ra , mengatakan, "Keluarga Muhammad SAW tidak pernah kenyang dari roti gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah SAW meninggal." (HR Muslim)