Memahami Makna Puasa Ramadan Dari Sisi Batin, Belajar Dari Kaum Sufi
Kemeriahan dan kemegahan Ramadan juga ditandai dengan perintah puasa. Seluruh umat Islam diwajibkan berpuasa satu bulan
Editor: Husein Sanusi
Jika sebelumnya hanya menyentuh aspek lahir, maka aspek batin menjadi sesuatu yang terpenting. Ia menjadi inti dari aktivitas, core of the core, dan menjadi penanda meningkatnya kualitas ruhani seorang hamba.
Pemaknaan lebih mendalam daripada aspek luaran ini akan mengajak kita merenungi perbincangan para sufi tentang puasa.
Pemantik perintah puasa adalah ayat al-Quran, dan karena itu pula ada baiknya kita kembali kepada bagaimana para sufi memaknai perintah puasa dalam penafsiran mereka. Biasanya, perbincangan di sini dianggap telah mewakili pandangan mereka tentang satu hal.
Meski kita perlu melacak lebih jauh pemahaman simbolik dari kaum sufi. Sebab, perkembangan pemikiran kontemplatif jauh lebih cepat melesat dari sekadar pemikiran yang didasarkan pada rasionalitas semata.
Tafsir sufi, atau lebih dikenal dengan istilah tafsir isyarimerupakan salah satu metode penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi.
Selain menampilkan makna literer dan normatif (riwayah dan dirayah), mereka berusaha menggali makna terdalam dari Alquran.
Seperti tafsir isyari karya Imam Abul Qasim Al-Qusyairi, seorang sufi sekaligus ahli hadis, yang berjudul Lathaifal-Isyarat (isyarat-isyarat halus).
Sebuah ungkapan simbolik dan idiomatik yang mengilustrasikan kelembutan isyarat Tuhan dan kehalusan pesan-Nya.
Sebuah pesan yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang benar-benar membuka mata batinnya. Mempersilakan cakrawala makrifat Allah menerobos kalbunya untuk membuka tabir hakikat-Nya.
Dalam penafsirannya, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa puasa itu ada dua: puasa lahir dan puasa batin. Puasa lahir sebatas menahan (dari lapar dan dahaga) dari segala sesuatu yang membatalkan disertai dengan niat.
Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (ruh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr[2] dari segala bentuk pengawasan.[3]
Al-Qusyairi juga menjelaskan dengan sangat apik: Bagi siapa yang sekadar menahan sesuatu yang membatalkan maka akhir dari puasanya ketika tersingkapnya malam.
Dan siapa yang puasa menahan diri beragam kecemburuan (aghyar), maka puncak puasanya dengan menyaksikan al-Haqq. Ini seperti isyarat hadis Nabi Saw., “Shumu wa afthiru li ruyatihi.”Penggalan hadis ini dalam pandangan kaum sufi memiliki makna yang berbeda dari makna lahiriahnya. Huruf ha dhamirdi akhir kalimat ini merujuk kepada Allah SWT.
Demikian pula pernyataan terakhir di atas secara lahir diartikan dengan: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan) Ramadan, dan berbukalah tatkala melihat hilal bulan Syawal.”